Senin, 02 September 2013

Pelangi di Plawangan pada Hari Keempat

Pagi keempat di atas pegunungan Rinjani menambah kecintaan kami akan keindahan di ketinggian itu. Walaupun matahari tertutup kabut. Kelelahan pada hari sebelumnya sudah berkurang dan kami semua merasa sehat untuk meneruskan perjalanan. Rencana hari ini kami akan meninggalkan Plawangan lewat Senaru namun batal karena cuaca buruk disertai kabut dan mendung. Selain itu perbekalan juga sudah habis. Dan salah satu anggota tim tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke sana karena dikhawatirkan tidak mampu mendaki bukit Senaru yang lebih terjal dan licin.
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali lewat jalan semula. Yah, apa mau dikata. Sangat disayangkan.


Pagi-pagi kami sudah bersiap turun. Berat meninggalkan semua yang ada di sana. Oleh karena itu kami banyak bergembira dan memuaskan diri melihat-lihat lagi keadaan sekitar. Tiba-tiba porter kami berseru, "Itu pelangi! Foto cepat!" Wow... pelangi yang sendu di pagi yang sunyi. Saya yang sedang berfoto dengan adik dan anak segera memanggil yang lain untuk keluar tenda. Begitu juga penghuni tenda lain juga keluar menyaksikan dan mengabadikan pelangi bundar dari puncak bukit. Pelangi itu tepat di atas danau berkabut.


Jam 07.30 kami meninggalkan kamp Plawangan dan berjalan perlahan melewati tenda-tenda yang memenuhi jalan di lengkung-lengkung bukit. Indah dilihat seperti lukisan pastel.



Ternyata menuruni bukit hampir sama sulitnya dengan mendaki. Perlu tenaga ekstra untuk mengerem laju langkah yang terdorong oleh berat badan. Paha dan leher belakang terasa kaku. Tidak seperti para porter yang dengan ringan berlari mengikuti daya dorong badan. Beberapa kali saya melihat wisatawan manca negara terpeleset lalu merosot dengan posisi duduk. Sementara ada juga yang sengaja merosot dengan berdiri sambil berbalik. Seru juga menuruni gunung rame-rame.



Kami beristirahat untuk minum di bawah pohon pinus. Makanan sudah habis. Saya masih punya satu bungkus kacang garuda, kami makan bersama termasuk porter juga.Namun setelah setengah hari berjalan kami sudah terpisah-pisah  menjadi tiga kelompok.  Barulah sampai di  pos tiga kami bertemu lagi. Kami mulai berjalan lagi dengan harapan tak ada lagi turunan, tetapi ternyata masih ada dan masih lagi.






Selanjutnya pos dua terlewati, istirahat sejenak dan berjalan lagi dengan harapan agar tidak kemalaman di jalan seperti saat berangkat. Di pos tiga tadi porter memberi tahu, kami akan melewati jalan lain setelah pos dua yaitu lewat hutan dan jalannya tinggal menurun saja. Jalan ini akan menghemat waktu satu jam perjalanan dibandingkan jalur berangkat.



Matahari hampir tenggelam ketika kami membelok ke jalan pintas. Kami benar-benar sudah tercerai berai. Saya kebingungan sendiri ketika sudah berada di tepi hutan, ada tiga pendaki yang akan masuk hutan, saya mengikutinya. Suara binatang malam mulai bersahutan, ada yang mendengkur seperti suara babi. Saya sedikit takut tetapi saya harus cepat berjalan sebelum gelap. Bersyukur rombongan depan saya temukan sedang beristirahat solat. Saya tidak perlu berhenti lama karena kaki saya sudah mulai sakit sehabis berhenti. Jadi berempat kami jalan duluan dengan satu porter.



Cahaya bulan sudah menggantikan siang. Kami mulai memasuki hutan Bak Nau yang artinya pohon enau. .Hutan ini panjang, merupakan hutan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani juga. Kami diminta siap dengan senter tetapi saya menaruh senter di dalam tas yang dibawa porter belakang. Jadi kami berjalan di hutan yang gelap ini hanya dengan dua senter di depan dan di belakang. Beberapa kali kami terantuk akar-akar pohon.
Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap terus dengan porter kami yang ramah ini. Namanya Sueb, penduduk asli Sembalun Lawang.Umurnya sembilan belas tahun.
Mula-mula kami bisa menikmati jalan malam di hutan sunyi ini dengan nyaman, apalagi di depan sudah tampak area terbuka dan terang oleh cahaya bulan dan bintang-bintang berkilauan, saya berpikir itu sawah atau ladang. Ternyata bukan. Kami kembali bertemu dengan savana baru yang luas terbentang. Kami memutuskan beristiahat duduk di rerumputan sambil menunggu rombongan yang dibelakang. Sesekali saya melihat lagi Gunung Rinjani yang hanya tampak kerucut di taburi bintang.


Ini malam jumat tetapi tidak ada rasa takut sama sekali walaupun seandainya ada binatang buas ataupun penjahat tak akan ada yang menolong kami. Cerita kami malah tentang keseraman hutan di Senaru seandainya kami kemalaman seperti ini di sana.
Cukup lama menunggu hingga akhirnya cahaya senter berbaris itu menandakan mereka sudah dekat. Kami berjalan lagi dan ternyata padang savana ini diputus oleh tebing curam dan licin oleh debu dan kerikil.Tebing ini merupakan sisi jurang yang mengapit lembah dan sungai.Ohoho...kenapa porter membawa kami lewat sini.Berani benar ia mengambil risiko, pikir saya. Lembah ini bagi saya sangat sulit dituruni, saya melorot saja dengan posisi duduk, begitu juga ipar dan Pak Ismail, bule Belanda ipar kami. Ini paling aman menghindari jatuh karena keseimbangan kami sudah sulit dikontrol.


Keluar dari lembah kami bertemu savana lagi dan berjalan terseok-seok lagi. Kapan sampe, kapan sampai. Itu saja yang ada dalam pikiran saya. Kami mulai berjarak lagi. Tinggallah sekarang saya berdua dengan keponakan. Batere senter habis jadi hanya cahaya bulan redup dan bintang yang menjadi penerangan.


Kami disusul porter yang di belakang karena ia akan memberi petunjuk jalan menjelang sungai kecil. Di situ ada dua jalan dan ia menutup salah satu jalan itu agar rombongan belakang tidak tersesat. Pelan sekali kami mulai memasuki semak-semak dan rumput setinggi manusia menuruni sungai. Ini sungai batu, bukan air. Meninggalkan sungai terdengar suara sayup-sayup  ramai-ramai orang mengaji lewat speaker dan tampak lampu-lampu di perkampungan. Alangkah senangnya. Porter mengajak kami istirahat menunggu yang di belakang lagi. Cukup lama menungu hingga melihat senter berbaris menuruni sungai. Kami tahu itu bukan rombongan kami. Tetapi ada satu cahaya senter kekuningan yang bergerak sangat cepat, pasti itu anak saya. Benar. Dia tergesa-gesa mengabarkan bahwa Pak Ismail sudah tidak kuat lagi berjalan.Tenaganya habis. Kami tidak mungkin kembali, karena itu kami meminta porter segera duluan mencari makanan dan air untuk mereka. Kami juga segera meneruskan perjalanan dan tak terasa kami sudah sampai di belakang perkampungan. Anjing kampung menyalak menyambut rombongan kami .Alhamdulillah dan Brug!!! kami langsung duduk di sebuah pos depan warung di mulut jalan kecil itu.

Seorang laki-laki menghampiri kami dan bertanya apakah kami dari bali denga satu bule, kami sudah ditunggu kendaraan ke Sembalun Lawang katanya. Sambil menunggu yang lain kami pesan teh panas. Sangat nikmatnya teh itu serasa sebagai minuman istimewa yang baru kami kenal. Kami minta dibuatkan ceplok telur dan sepiring nasi.
Satu jam kemudian kami lengkap dan segera menaiki kendaraan terbuka menuju desa Sembalun Lawang kediaman porter. Sampai di sana api unggun besar dari pokok-pokok kayu sudah menyala menghangatkan
malam itu. Keluarga porter, laki perempuan, orang tua dan anak-anak berkumpul menyambut kami dengan ramah dan suka cita. Teh dan kopi panaspun dihidangkan bersama satu waskom besar kentang rebus.
Malam yang familiar dan tak akan bisa kami lupakan.
Satu jam kemudian kami meninggalkan sembalun menuju mataram. Kami sudah ditunggu jemputan sejak siang tadi.
Jam dua pagi kami sampai di Mataram dan menginap di Ampenan. Yang kami lakukan pertama kali sesampainya di tempat itu adalah membersihkan badan. Wajah kami semua sudah seperti topeng karena debu yan sangat tebal. 
Bersyukurlah akhirnya perjalanan itu sudah selesai dengan rasa puas yang sukar untuk dilukiskan.
Esok siang saya berdua kembali ke Bali dengan motor. Menyeberangi Selat Lombok dengan membawa perasaan senang tidak terkira.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar