Senin, 19 Juni 2017

Ritual Lebaran di Kota Kelahiran

Selamat malam dari Tamansari.

Duapuluh tiga hari puasa Ramadhan sudah terlewati dengan rasa nikmat yang luar biasa tanpa halangan. Begitu juga tarawih belum ada yang bolong. semoga terus jalan sampai akhir. Tetapi ya tidak mungkinlah soalnya ada satu malam di perjalanan mudik dua hari lagi. Untuk baca alquran, ada bolongnya juga tetapi bukan tanpa sebab. Ada perjalanan dan ada tamu sampai larut sehingga pada akhirnya ngantuk karena kecapaian.

Hari ini tadi kegiatan ekstra adalah belanja oleh-oleh dan berkemas mudik, membereskan rumah.
Ada rasa sedikit malas ya mudiknya karena tidak lagi bersama anak-anak. Mereka sudah ada dalam dunia keluarga kecil masing-masing dan si bungsu malam lebaran masih di kantor mengamati antariksa (istilah keren hehe) di stasiun bumi Lapan Watu Kosek ( hehehe lagi)


                                                     
                                          Bintang Laut di P Gili Subak Lombok Barat 2016

 Waktu memang telah merubah semuanya, dari kegemasan mengurus anak-anak menjadi kecemasan membayangkan mereka merantau untuk kuliah dan selanjutnya menjadi kesepian setelah semua menemukan jalan hidup masing-masing. Mungkin ada perasaan yang sama antara orang tua dan anak, bahwa mereka juga selalu merindukan kebersamaan kala masih menjadi satu keluarga dalam satu atap dan selalu mudik ramai-ramai ditambah lagi jika barengan dengan keluarga sepupu mereka. Kini sepupu mereka juga sudah memiliki kehidupan yang sama di tempat yang berbeda-beda.






Jadinya yang bisa dilakukan adalah berangkat dari tempat masing-masing lalu bertemu dan berkumpul di rumah tua. Rumah di kota kelahiran ibu atau ayah mereka, rumah nenek moyang mereka di desa Ledok Wetan Kota Bojonegoro. Sudah bisa dibayangkan betapa gaduhnya nanti rumah itu kedatangan orang-orang muda kotaan yang tidak pandai di dapur tetapi gaduh di meja makan sambil berolok-olok selama beberapa hari. Wah yang tua-tua jadi koki sampai elek...ah tetapi suka juga masak laki perempuan di dapur dengan menu andalan masing-masing. Itulah lebaran kami setiap tahun. Selama ibu saya masih ada kami sering bertemu di kota kelahiran. Semoga dari generasi ke generasi ritual lebaran ini akan berlanjut dengan baik. kami semua berjauhan dari Sumbawa-Bali sampai Jakarta bertebaran namun serasa saling berdekatan.

Acara yang menarik lagi adalah jalan pagi-pagi saat lapar lalu mencari sarapan nasi pecel dengan aneka lauk pilihan yang enak-enak di sepanjang jalan mengeliligi alun -alun Bojonegoro atau makan serabi ketan sambil ngopi. Acara sarapan didahului joging beberapa putaran atau bermain di taman dulu main ayunan sambil ngasih makan burung merpati jinak yang beterbangan di dekat pengunjung.
Pokoknya inilah kebahagiaan bersama yang sejati Bani Sofyan Sahuri, ayah kami yang tidak pandai membaca dan menulis tetapi sudah mencetak anak cucu yang membanggakannya (mungkin) seandainya ayah menyaksikan kami yang sekarang.




Terima kasih Ayah, semasa hidupmu saya tidak pernah membahagiakanmu karena kita sering tidak sepakat walau sebenarnya saya sangat mengagumimu karena Ayah telah bersungguh-sungguh mendidik kami sekalipun ayah tidak tahu ilmu tentang mendidik. Sampai akhir hayat ayahpun kami tidak menemani ayah dan kami hanya mendapati ayah sudah dikebumikan ketika malam itu kami tiba dengan pesawat tetapi tidak bertemu jasadmu juga. Kami hanya mendengarkan cerita ibu tentang detik-detik terakhir ayah yang tidak diketahui karena ibu sedang mencarikan kopi yang ayah minta ketika di rumah sakit tidak ada yang jaga karena keluarga baru pulang untuk bekerja, dan ketika ibu kembali ayah tertidur. Ibu membangunkan tetapi ayah tidak pernah bangun lagi.

Itu sudah lama berlalu tetapi setiap kami pulang rasanya ayah masih bersama-sama kami berlebaran. Kami sungkem ayah dan ibu. Saya yang pertama disusul suami dan anak-anak lalu adik-adik sekeluarga bergantian. Selanjutnya bersalam-salaman semua diteruskan tabur uang kertas baru untuk semuanya tua muda dan anak-anak. Mereka yang muda yang bekerja yang menebar dan yang lain berebutan riuh sekali. Ada acara buka parsel dan berebut isi masing-masing satu macam saja dan juga ada hujan coklat. pokoknya serulah. Setelah itu makan soto khas racikan ibu yang tidak ada duanya enaknya. Dilanjutka bersilaturrahim dengan para tetangga dan sanak famili.

Setelah itu barulah berlebaran ke keluarga ayah di desa sekaligus berziarah ke makam ayah.

Pada hari-hari berikutnya bertamasya ke luar kota atau ke gunung.




Begitu berkesan dan menyenangkan saat-saat seperti itu. Karenanya betapapun jauhnya kami tak ingi melewati kebersamaan seperti itu.





Sabtu, 17 Juni 2017

Kegelisahan

Terkadang tiba-tiba saja kegelisahan datang mengganggu tanpa sebab seolah-olah sedang menghadapi suatu masalah. Mungkin saja ada hal yang belum terselesaikan sehingga ada juga perasaan dikejar-kejar sesuatu. Dulu pernah terbayangkan setelah selesai tugas dan kewajiban sebagai  PNS tentu banyak kebebasan untuk memenuhi keinginan dan kesenangan hari tua. Hidup cukup tanpa beban lalu bersenang-senang saja kemana pergi.
Sebagian keinginan memang tercapai namun begitu melihat kehidupan orang-orang dekat yang dipenuhi masalah, rasanya kesenangan hari tua menjadi tertunda. Sedih rasanya mengapa nasib baik yang saya rasakan semasa muda tidak dirasakan oleh mereka. Lalu sampai kapan keadaan seperti itu berakhir?
Rasanya hanya keberanian melawan paksaan nasib saja yang bisa merubahnya.. semoga selanjutnya nasib akan menghampiri mereka dengan belas kasih Tuhan.
Yah itu akan terjadi jika mereka bisa memperbaiki hubungan dengan Tuhannya. Tanpa itu mustahil orang bisa mendapatkan kemudahan dan ketenangan. Saya hanya berpikir demikian saja tidak lebih karena saya tahu mereka bekerja mati-matian dengan pendapatan yang lumayan tetapi kenyataannya kesulitan selalu menghampiri mereka. Semoga kesulitan itu segera berakhir.

Ups, pembaca bungsu saya baru saja menelepon dari Surabaya, mengabarkan keadaannya yang sehat. Si bungsu mengabarkan bahwa ia lulus seleksi tahap dua dan sedang menunggu hasil seleksi akhir untuk penyaringan calon penerima beasiswa dalam dan luar negeri untuk pegawai LAPAN. Berharap bisa merebut beasiswa luar negeri karena lowongan ini belum terisi. Saya berharap ia bisa meningkatkan Tofelnya dan bisa belajar di luar negeri. Tidak putus-putusnya doa saya panjatkan untuk kesuksesan anak bungsu saya, termasuk doa untuk jodohnya. Bungsu ini banyak menyemangati orang tuanya untuk menikmati hari tua dengan jalan-jalan.





                                                Mendaki Gunung lemongan Bertiga 2014

Masa Kecill Bersama Nenek

Masih tentang masa kecil
Rumah nenek dekat dengan stasiun kota Bojonegoro menghadap kawasan stasiun. Di pinggir jalan raya Surabaya-Cepu. Hanya di pagari dengan pagar kawat berduri lalu petak sawah sepanjang kurang lebih 200 m dari stasiu mengikuti rel kereta lalu disambung dengan perumahan PJKA sampai persimpangan jalan.Dahulu di persimpangan itu pada pagi hari dijadikan pasar kecil. Ramai sekali. Pedagang sayur dan bahan pokok seperti beras ubi dan jagung menggelar dagangan di pinggir jalan di atas alas seadanya. Pedagang penganan yang kala itu dibuat dari bahan alam tanpa olahan seperti kacang rebus, ketela rebus, pisang rebus dsb. Dijajakan di sebuah tampah, yaitu talam bundar dari anyaman bambu yang diletakkan di atas rinjing. Rinjing adalah bakul besar dari anyaman kulit bambu halus yang fungsinya sebagai wadah bawaan yang digendong di punggung.
Para pedagang tradisional itu umumnya tidak menggunakan timbangan saat menjual dagangannya seperti bumbu dan rempah-rempah mereka hanya menakar dengan menjumput secara kira-kira saja.
Alat pembungkus dagangan adalah daun jati. Termasuk membungkus beras, yaitu dengan cara menyusun daun jati membentuk kerucut. Kerucut daun itu muat sampai tiga kilo beras atau jagung.

Saya senang ke pasar mengikuti nenek ketika libur sekolah. Nenek saya mula-mula ikut berjualan hasi kebun seperti kelapa dan daun pisang. Terkadang jika ada pisang masak atau ubi pohon juga dijual lalu hasilnya dibelikan lauk-pauk seperti ikan pindang, kaki kambing atau tahu tempe dan sedikit teri.
Soal sayur kami tinggal memetik di kebun. Jika musimnya, tomat dan cabe juga tinggal minta di rumah paman. Begitu juga berbagai jenis labu kami semua menanam sendiri di kebun, sawah dan di pekarangan rumah.
Bermula dari kebutuhan untuk membeli lauk dan bumbu, selanjutnya nenek mencoba berjualan barang-kelontong seperti benang, jarum peniti, jepit, sendok, perhiasan imitasi, bedak, sisir dsb. Ternyata ini menyenangkan nenek dan bertahan sampai nenek lanjut usia

Jika datang bulan puasa, dalam suasana gelap karena listrik belum ada di desa kami,hanya stasiun saja yang ada listrik dan penerangan jalan yang remang-remang juga, untuk menandai saat sahur, terdengar suara bel dari setasiun yang berupa pukulan pada besi sebanyak dua belas kali dan selanjutnya akan terdengar suara suling yang memilukan dari cerobong uap lokomotif. Itu terjadi setiap hari sekitar jam dua pagi menandakan satu jam lagi kereta sudah siap.
Selanjutnya terdengar jasss jusss jasss juss daan tuiiiitt tuittt kereta berjalan maju mundur s3cara perlahan. Lalu terdengar dentang besi bertautan menunjukkan kereta tersambung dengan lokomotif.

Bentuk lokomotif ini bagus dan enak dipandang, berwarna hitam legam dengan moncong bundar di atasnya agak ke belakang sedikit tampak mainis di ruang kemudi menghadap lurus ke depan. Pakaiannya rapi seragamnya hitam bertopi seperti topi polisi dengan lambang apa ya saya lupa di bagian tengahnya terbuat dari kuningan yang disemangatkan longgar sehingga bisa bergerak-gerak. Masinis ditemani pembantunya yang berdiri di pintu mengawasi keadaan sekitar. Saya juga senang bermain di setasiun. Setasiun tempoe doloe, lantainya ubin kotak-kotak kecil seperti lantai kamar mandi, ruang-ruang kantornya berjendela besar-besar dengan daun jendela berlapis. Bagian dalam jendela kaca dan bagian luarnya jendela krepyak bersusun-susun rapi sebagai ventilasi tetapi juga membuat daun jendela itu indah dan gagah dalam keadaan terbuka maupun tertutup.
Warna cat setasiun itu didominasi warna abu-abu pada dinding maupun pintu dan jendela serta gudang-gudangnya.
Setasiun menjadi tempat yang nyaman untuk kongkow-kongkow kala itu. Bersih dan luas. Sebenarnya tidak semua orang boleh masuk ke peron, tetapi penduduk sekitar bermata pencaharian di setasiun sebagai pedagang asongan dan pedagang makanan dihalaman setasiun. Kami sudah dikenali oleh penjaga yang sebagian juga penduduk setempat sehingga kami diijinkan masuk.
Tetapi jika penjaga bukan orang lokal kami tidak boleh masuk. Walau begitu kami tidak kurang akal, kami masuk ke kawasan melewati pagar berduri dekat rumah kami di seberang jalan lalu menyusuri pematang srmpit sepanjang pagar kawat berduri dan sampailah sudah kami di belakang gudang setasiun lalu menyelinap di antara pedagang asongan dan para calon penumpang.
Saya mengikut saja ketika kawan-kawan menaiki kereta yang akan langsir. Masinis atau kondektur mengizinkan kami ikut, terkadang madinis mengajak kami di lokomotif. Jika sudah begitu kami merasa sukses bermain hati itu namun itu menjadi rahasia kami sepulang dari setasiun karena kami takut dimarahi. Tetapi pada akhirnya jika nenek tahu, nenek tidak pernah memarahiku. Itulah yang membuat aku melupakan ayah ibu yang bingung bagaimana cara membawa saya pulang.

Berulang kali saya diambil ketika saya tidur lelap, tetapi jika saya terbangun saya menangis dan tidak bisa tidur lagi sehingga pada akhirnya ayah akan mengantar saya kembali ke nenek dengan dibonceng sepeda.

Kamis, 15 Juni 2017

Kenangan Masa Kecil



     Saya terlahir sederhana, hanya dibantu oleh seorang dukun bayi yang ada di kota dan tanpa kehadiran ayah karena ayah berdagang ke luar kota untuk waktu yang lama. Sebenarnya keluarga ayah dan ibu adalah petani walaupun tidak pernah mengerjakan sendiri. Selanjutnya ayah dan ibu berdagang. Ayah pedagang tembakau dan ibu pedagang batik. Maka kelas kami naik satu tingkat dan kenaikan itu bukan pekerjaan yang bisa diraih dengan mudah. Dengan perjuangan keras dan tidak mengenal putus asa, terutama ayah. Berkali-kali jatuh tetapi berkali-kali juga sukses. Dari kesuksesan itu jadilah kami yang sekarang.



Masa kecil saya adalah awal perjuangan itu. Ayah sangat keras mendidik saya yang masih awal sekolah. Saya tidak tahan dengan cara ayah mendidik saya, mungkin, karena itu ketika nenek dari ibu datang tepat saya habis dipukuli ayah karena tidak mau berangkat sekolah, saya pun langsung bilang kepada nenek bahwa saya akan ikut padanya.

Sejak itulah saya dalam pengasuhan nenek. Saya putus dari Taman Kanak-Kanak karena nenek tidak memasukkan ke sekolah TK lagi dan membiarkan saya menunggu masuk se
kolah dasar. Saya iri melihat anak-anak belajar di TK. Saya senang mengintip mereka belajar dari jeruji bambu yang menjadi jendela sekaligus ventilasi dan juga sebagai bagian atas dinding kelas. Saya dan teman sebaya yang tidak sekolah TK setiap hari mengintip dan melihat keceriaan anak-anak yang ada di dalam kelas.

Tidak tepikirkan oleh saya untuk memprotes kala itu. Saya senang saja karena sudah mendapatkan segala yang dibutuhkan anak-anak. Bermain dengan banyak teman, berjalan dan bermain ke tempat-tempat baru di sekitar desa. Ke sawah mengirim makan siang untuk paman dan bermain dengan ikan-ikan kecil di sawah ketika awal musim tanam. Ikan-ikan wader berseliweran di bawah rumpun padi, dan berkumpul di saluran yang menghubungkan antara petak sawah. Di situ permukaan sawah terkadang tidak sama sehingga aliran air turun dan melarungkan ikan-ikan kecil dan berkumpul di pusaran yang sedikit dalam. Airnya jernih dan sejuk.

Dan jika musim panen tiba kami juga ikut ke sawah melihat perempuan berbanjar di tengah hamparan padi yang kuning kecoklatan. Mereka sedang memotong padi, tangan mereka lincah menggerakkan tangan memotong helai padi dengan anai-anai, yaitu pisau pemotong padi berbentuk salib tak berkaki dengan mata pisau di bagian palang datarnya.
Jari-jari tangan perempuan itu berkolaborasi menggerakkan pisau dengan cara jari telunjuk dan jari manis sebagai pemotong, jari kelingking dan ibu jari sebagai pegangan palang dan jari tengah sebagai penekan.
Kami juga diperbolehkan mencoba tetapi tentu kesulitan untuk memotong batang padi karena jari-jari kami yang kecil.

Paman dan pembantunya mengumpulkan padi dan menunggu perempuan-perempuan itu menyetorkan hasilnya. Helai-helai padi dikumpulkan oleh masing-masing pemotong dan paman menjaga agar tidak terjadi kecurangan satu dengan yang lain. Setelah waktu pemotongan selesai pada sore hari. Upahpun langsung diberikan, dengan cara memberikan sebagian dari hasil yang didapatkan. Masih saya ingat nenek mengukur banyaknya helai padi dengan cara mengumpulkan helai padi sebanyak cengkeraman dua tangan sampai pertemuan dua jari telunjuk dan dua ibu jari. Setelah diukur padi-padi itu kemudian diikat dengan tali yang dibuat dari pelepah pisang yang dilayukan. Setelah semua selesai ikatan-ikatan padi  itu ditata berjajar rapi di pematang. Setiap satu ikat padi yang didapat diupah sesuai dengan kesepakatan yang lazim yaitu satu genggaman satu tangan yang mempertemuan jari  telunjuk dan ibu jari.

Pernah juga ada pemotong yang tidak puas tetapi pada akhirnya semua selesai dengan baik. Nenek adalah orang yang sangat sabar dan disegani.

Yah itulah sebagian masa kecil yang tidak saya lupakan.





Alam dan Manusia

Musim kemarau datang terlambat, tidak ada waktu untuk mengeringkan tanah dan memberi ruang kepada belalang dan serangga lain untuk bernyanyi nyaring di rerumputan dan padang ilalang. Udara dingin dalam cuaca tidak menentu. Sesekali angin berhembus sejuk dan selanjutnya dingin.

Alam berbicara dengan cara yang tidak membosankan, walau terkadang ia juga berbicara dengan nada kemarahan. Hanya manusia yang tidak faham dengan bicara alam dan tak lagi abai dengan alam.
Siapakah yang masih memperhatikan perubahan bentuk bulan di langit, barangkali  hanya para nelayan di lautan. Siapakah yang masih bisa mendengarkan nyanyian kemerdekaan burung-burung di pepohonan, barangkali hanya pekerja yang sedang beristirahat di kerindangan. Siapakah yang masih bisa merasakan panasnya matahari di tengah hari, tentu hanya mereka golongan pekerja keras yang tidak mengenal waktu. Dan mereka adalah orang-orang yang sehat rohani serta jasmani, yang menyintai hidupnya.
Mereka tahu hidup adalah perjuangan di alam semesta.Mereka menjadi sehat oleh rasa terima kasihnya atas anugerah yang dibetikan Tuhan melalui alam.


Pos tiga G. Lawu 2016

Akar pohon ini indah karena perjuangan hidupnya 

Pinus ini bertahan di tengah danau karena berjuang bersama





Sabtu, 10 Juni 2017

Renungan lanjut Usia

Selamat pagi. Hujan dan gerimis bergantian sejak dinihari.  Hanya beberapa detik saja sesekali matahari menampakkan sinarnya.  Walau begitu udara tidak terlalu dingin.
Ramadhan sudah melewati pertengahannya tanpa terasa dan sudah menjadi pola kebiasaan dalam beraktivitas.

Hanya saja pada malam-malam tertentu saya sulit tidur.  Pikiran menerawang ke mana mana tidak jelas. Terkadang sampai ke titik krisis yang menakutkan. Jika begini ingin sekali mencari teman untuk mengobrol dan meredakan kegelisahan. Tetapi itu tidak pernah terjadi karena waktu jua. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa mohon mendapat perlindungan-Nya serta berharap esok segera tiba.
Yah musuh kita adalah rasa takut,  hanya rasa saja barangkali karena ketakutan itu terkadang tidak beralasan. Atau hanya efek dari peristiwa sekitar kita saja.

Benar cerita orang-orang bahwa perubahan generasi pada diri manusia akan membawa perubahan berpikirnya. Bisa saja pola berpikir yang positif maupun negatif. Positif apabila kita bisa membangun semangat dan lebih berani membangun ide untuk mereka yang lebih muda, dan negatif ketika kita selalu merasa introfet dan hanya berada di belakang saja.
Tetapi pemisahan antara keduanya juga tidak mungkin karena secara alamiah generasi lanju usia berhadapan dengan kelebihan dan kekurangan.

Begitu pun saya.
Pembaca yang budiman, satu lagi musuh saya yaitu menurunnya kreativitas. Pekerjaan yang sifatnya tugas pokok memang berjalan lebih baik dari semula saya rasa,  tetapi inovasi dan kreativitas lain datar saja. Sekalipun kadang masih ada hentakan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu namun dengan cepat keinginan itu sirna.

 



Matahari sudah bersinar lagi semoga hari ini cerah sampai sore karena nanti masih ada undangan untuk berbuka puasa bersama  kemenag kabupaten. Sampai di sini jumpa kita.