Jumat, 01 November 2013

Hari Kedua di Kepulauan Seribu


P Tidung
Meninggalkan  Pulau Tidung
Kami pulang pada hari berikutnya dengan kapal Kerapu. Kapal ini bermuatan 25 orang penumpang saja. Dari pulau Tidung jumlah penumpang tujuh belas orang dan selebihnya adalah jatah untuk pulau lainnya. Waktu tempuh satu setengah jam saja, jadi lebih cepat satu jam dibandingkan dengan kapal motor Kurnia. Untuk mendapatkan tiket kami harus antre sejak pagi. Ada dua kali penyeberangan dengan kapal ini yaitu pada jam Sembilan pagi dan jam dua sore. Begitu juga dengan penyeberangan kapal motor biasa, Hanya saja jam penyeberangan berbeda. Selain kedua kapal ini masih ada kapal cepat.




P Payung

 
Mampir di P Lancang Besar



 
Muatan dari P Lancang Besar


Rute kapal Kerapu dari Pulau Tidung adalah Pulau Payung, Pulau Lancang Besar dan Pulau Untung Jawa. Dari pulau Lancang Besar ada satu penumpang dan dua petugas Dinas Perhubungan yang naik. Mereka juga membawa muatan tiga karung kecil ikan teri. Muatan itu diletakkan di moncong kapal dengan diikat pada pagar depan kapal. 
Mendekati Jakarta, banyak  sampah mengapung di laut. Sampah-sampah  hanyut  menjauh dari Jakarta dan berlari cepat di kiri kanan kapal berlawanan arah. Beberapa kali tampak burung sedang bertengger di potongan sampah dan berayun-ayun mengikuti arus gelompang. Ada pemandangan lain, yaitu sebuah perahu nelayan yang compang camping sedang melaut. Perahu itu diikuti sekumpulan burung camar yang terbang berkeliling mengitari perahu. 


 
Perahu Nelayan



Pelabuhan Muara Angke
Umumnya perahu-perahu nelayan yang saya lihat di sini adalah perahu yang sangat sederhana yang kurang dicintai pemiliknya. Sangat kontras dengan perahu nelayan di Jawa Timur, khususnya di Pelabuhan ikan Muncar. Perahu dan kapal-kapal nelayan di Muncar sangat pesolek dan memikat dengan tiang-tiang layar yang tinggi dihiasi bendera  warna-warni dan dilengkapi asesoris yang  menarik. Memberi pemandangan keramahan dan rasa percaya diri. Bukan pemandangan kemiskinan dan penderitaan seperti yang terlihat di pelabuhan nelayan Muara Angke.
Jam sebelas siang kapal merapat di pelabuhan umum Muara Angke. Pelabuhan ini sepi, selain itu panas dan kotor di mana-mana padahal rancang bangun dan penataannya  cukup praktis. Di sini juga tampak ada antrean di depan loket dengan cara yang  sama seperti antrean di pulau Tidung, yaitu dengan meletakkan tas berbaris  sesuai nomor urut antrean.

Tarip Penyeberangan Kepulauan Seribu

Begitu sepinya pelabuhan ini membuat segala gerak dan gaya kami saat menunggu jemputan selalu menjadi perhatian, termasuk oleh petugas yang tampak tidak ada kesibukan selain duduk-duduk dan merokok.
Kami meninggalkan pelabuhan Muara Angke jam 11.30, setengah jam setelah merapat dan sampai di Bekasi sekitar jam dua sore. Letih yang sangat tetapi puas dan kami berjanji suatu saat nanti ingin mengulanginya.
Terima kasih Tuhan saya masih bisa menikmati pengalaman ini walaupun dengan kondisi kaki yang tidak sehat.

Begitulah perjalanan kami di Kepulauan Seribu, selanjutnya bertiga kami meninggalkan  Bekasi  menuju kota kelahiran dengan bus.  Sesampainya di kota Rembang bus yang kami tumpangi mogok. Dan kami dioper ke kendaraan minibus dua jam kemudian. Wah tamasyanya jadi bertambah karena kami sempat jalan-jalan membeli makanan di pasar yang tidak jauh dari tempat bus mogok. Adik saya iseng berceloteh, dari Belgium ke Jakarta dengan pesawat, dari Jakarta pulang dengan bus lalu menurun lagi dengan minibus. Saya menyahut, itu karena kita berenang-renang dahulu baru berakit-rakit kemudian. Kami tertawa saja dan tak ada seorangpun penumpang yang mengeluh. 
Besok malam saya harus balik ke Bali lagi dan habislah liburan saya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar