Minggu, 10 Mei 2015

Yang Kelima


Puisi ini saya baca di sebuah status kawan lama, dan ini puisi yang kelima. Kali ini saya pastikan ini puisi untuk saya karena ada sepotong kalimat saya yang dikutip, dan beberapa larik juga berbicara tentang saya.
Saya bingung, persahabatan bisa begitu membekas di dalam perasaannya. Saya semakin yakin bahwa saya harus berkaca pada perasaan dan pikirannya, lalu berpaling pada perasaan dan pikiran saya sendiri. Apa yang sedang terjadi dalam kehidupan batin saya saat ini. Posisi saya sama dengan posisi dia, hanya saja pada tempat yang tak saling berkaitan.


DIORAMA
Aku berharap ini bukan tepi dari persahabatan kita
mungkin kamu menganggap aku tak pernah bisa memahamimu seperti adanya, atau
mungkin aku menganggap kamu tak pernah bisa
memahamiku seperti adanya

Kupanjatkan doa seperti peziarah yang hadir
di tanah leluhur kita
namun sia-sia
tak ada tuhan yang berkenan mengabulkan pinta kita
di sini
Kita memang sangat beda
kamu dilahirkan dengan petuah-petuah
Sedang aku ditakdirkan untuk tak kenal tanah
antah berantah
Namun kita cuma butuh jembatan
untuk saling bisa menyeberangi
sebagai musafir, tirta yastra
mencium aroma wangi kesturi, dupa dan kembang perkabungan
hidup berdampingan dengan tetangga lain budaya memiliki nilai lebih loh, katamu
Rasa-rasanya sejak semula
kita telah diumpamakan sebagai diorama
telah pula direncanakan bertemu
menjadi begitu bersejarah, karena
membuat banyak orang tertipu
kita ajak mereka memasuki gerbang pura
namun di dalam lantunan ayat-ayat al-quran menggema
zaman akan mengulurkan pena, padamu
menyuruhmu mencatat sendiri peristiwa mana yang bisa
mempertahankan aku kamu
menjadi serupa tanah pertemuan dan begitu perlu
mengekalkan
persahatan kita
semoga !

Tertulis tanggal 8 Mei, 22.29

Saya tidak berani berkomentar atau like demi menjaga adanya bias perasaan. Saya hanya perlu mencatatnya sebagai penghargaan terhadap gagasan yang ditulisnya. Bisa jadi dia orang terbaik yang menghargai saya.

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar