Selasa, 05 Juni 2012


SUATU PAGI DI DALAM KELAS

Hujan rintik-rintik membasahi daun-daunan,atap bangunan, tiang-tiang dan kabel-kabel yang bergelantungan.Lapangan basket digenangi air memantulkan bayangan benda-benda di sekitarnya. Dan titik-titik air yang jatuh membuat bundaran-bundaran yang bergerak membesar lalu menghilang.
Hari ini hari pertama ujian sekolah. Murid-murid bekerja dengan tekun menghadapi soal ujian Kewarganegaraan. Kulihat wajah-wajah yang tegang tak henti-hentinya mengamati lembar-lembar soal.tentunya wajah-wajah yang berbeda dengan mereka yang duduk di sini tahun lalu.Ya tentu berbeda . Bukankah setiap tahun ada yang datang dan ada yang pergi. Sebagian besar anak-anak ini pernah kuajar waktu kelas satu.Beberapa nama mereka juga masih kuingat. Yang duduk di sudut kanan depan itu Titik.lalu Ningrat, Mahardika dan Soni. Kemudian pada deretan kedua ada Wiharta. Agus Ari, Wahyu dan Chaerani.selanjutnya ada Kariani dan Wiadnyana.
Di deretan kedua paling kanan namanya Agus. Aku mengenal anak itu sejak ia masih kanak-kanak.karena ia anak tetanggaku.Ayahnya telah dua kali ikut mencalonkan diri sebagai calon legislatif tetapi gagal. Aku juga masih ingat waktu kecil Agus nakal sekali dibandingkan anak-anak pada umumnya.Segala kemauannya harus dituruti. Kalau tidak ditruruti ia tidak segan-segan merusak dan membanting benda-benda yang ada di dekatnya.Pernah pada suatu hari ia minta uang untuk membeli mainan.Tampaknya ibunya tidak mau lagi memberinya karena seharian itu ia sudah empat kali minta uang. Agus bertiak-teriak dan mengamuk memukuli pengasuhnya, dan menendang-nendang ibunya.Melihat kedua orang perempuan itu tidak menggubrisnya ia meraih keranjang berisi telor dari atas meja dapur lalu menghempaskannya ke tanah.Hingga akhirnya keributan pun terjadi ibu dan anak itu adu kekuatan saling memukul higga akhirnya ayahnya datang melerainya. Yah anak itu kini sudah SMA dan tampak pendiam.
Angin bertiup dingin membuat suasana kelas semakin beku.Satu jam sudah berlalu murid-murid nampaknya mulai gelisah dan aku pun sudah dihinggapi kebosanan.Aku meninggalkan tempat dudukku untuk mengurangi rasa dingin dan berjalan mendekati Agus. Sejak tadi anak itu tidak pernah diam. Ia seringkali menoleh ke belakang seperti mencari bantuan kepada temannya itu. Sesekali ia juga bertanya dan melihat kertas yang ada di belakangnya.Benar ia kesulitan mengerjakan soal.Lembar jawabannya masih kosong.
“ Lembar jawabanmu masih kosong Gus?” Aku bertanya sambil menatapnya. Ia hanya diam tersipu dan menekuk wajahnya sambil menekan-nekan gagang pulpen.
“Menunggu apa?” Tanyaku menyambung.Ia masih tersipu dan tetap memainkan pulpennya. Lalu sambil berlalu meninggalkannya aku berkata lagi
“Segera dikerjakan ya!”
“Ya” jawabnya pelan.
Aku kembali ke tempat duduk,sementara guru pengawas pasanganku masih tekun mengerjakan soal matematika yang menjadi bidangnya.
Beberapa saat hening kembali sepertinya kegelisahan anak-anak sudah terlewati. Barangkali anak-anak sudah dapat jawabannya atau sebaliknya mereka sudah menyerah.
Aku menyandarkan punggung ke kursi sambil memandangi mereka satu demi satu .Samar-samar kakiku terasa terayun dan mengambang. Seperti ada yang tidak beres pada diriku, aku berusaha membetulkan dudukku ketika tia-tiba ayunan itu terjadi sungguh-sungguh. Disusul getaran bumi yang kuat.
“Linuh!...Linuh !!! “ teriak seorang anak laki-laki. Serentak semuanya berhamburan ke luar. Di luar anak-anak kelas lain sudah berdesakan di lorong terbuka di antara kelas yang berhadap-hadapan.Getaran makin kuat sehingga daun jendela kaca itu tampak terayun ayun,suaranya bergetaran. Aku merangkul temanku, anak-anak berpegangan, berdekapan dengan wajah ketakutan. Jantungku berdebar-debar. Anak laki dan perempuan berdesakan dan berhimpitan mencari ruang terbuka. Sebentar saja taman di lorong kelas itu kacau balau terinjak-injak. Gempa masi h berlangsung, getaran kaca-kaca masih terdengar di sana sini.
“ Hei sapa itu di kelas ? Keluar!” seorang murid laki berteriak cemas sambil menunjuk kelas.Tetapi anak yang di dalam seakan tidak mendengarnya. Ia tampak sibuk.
Beberapa detik kemudian getaran gempa terasa melemah. Beberapa anak mulai kembali ke ruangan. Tetapi di dalam, Agus masih duduk di kursinya seperti sebelum gempa terjadi. Di mejanya lembar jawaban kepunyaan temannya ada di sana. Begitu temannya tiba buru-buru ia kembalikan. Tidak peduli temannya kesal dan mengumpat lirih. Aku mendekati mereka memandangi mereka bergantian.Lalu kulihat lembar kerja Agus sudah selesai dan lembar eseinya juga sudah penuh.
Rupanya gempa itu tidak berarti dibandingkan dengan lembar jawabannya sekarang. Memuaskan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Juga pengawas pasanganku
Terselip rasa kecewa dalam hatiku terhadap agus dengan tindakannya itu.Ia mencari keberuntungannya dengan mencuri-curi kesempatan dari jerih payah temannya.Agus, anak tetanggaku itu memang seharusnya tidak di sini tempatnya tetapi di sekolah kelas swasta kualitas dua.Ia berada di sekolah ini sebagai murid juga karena faktor keberuntungan saja. Karena pertemanan tetangga antara aku dan orang tuanya. Mestinya nilai Ebtanas murninya dulu itu catatan asli tentang pendidikannya. Tak perlu campur tangan orang seperti aku atau lainnya.
Ya Agus memang mujur. Orang tuanya mampu dan memiliki faktor keberuntungan juga. Sayang kesempatan baik yang ia dapatkan di sekolah ini tidak digunakan dengan sebaik-baiknya. Dan ketergantungannya pada orang lain sejak masih kecil dulu tidak dihilangkannyan hanya karena mengharapkan masih ada keberuntungan lagi.
Hujan telah lama berhenti dan matahari kembali menghangatkan hari ini. Aku bergegas pulang.

Tabanan, Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar