Selasa, 14 April 2015

Malang, 1972

Kawan saya mengirimi saya sebuah puisi panjang berjudul 'Sebuah Catatan Ringan'.
Puisi itu dikirim lewat kronologi facebook saya, tertulis catatan..."hey Bu guru yang hobi sastra..."
Setelah saya baca, isi puisi tersebut ternyata tidak sesuai dengan judulnya. Bagi saya puisi ini bukan catatan ringan. Puisi ini penuh pesan yang terkadang maksudnya sulit saya mengerti. Hal ini disebabkan juga oleh
kronologi puisi yang terputus-putus dan kurang padu.

Tetapi yang jelas bahwa puisi ini dibuat dengan sepenuh hati. Ini tampak pada pemilihan majas yang selektif. Saya patut menghargainya.
Melihat latar belakang waktu dan tempat tertulisnya, sepertinya puisi terkirim untuk mengingatkan saya bahwa pada suatu masa ada sebuah kenangan yang terjadi dan masih menjadi sebuah catatan sampai saat ini. Tertulis di bagian bawah puisi, Malang 1972. Melankolis.
Saya tahu itu catatan tempat dan tahun ketika ia ujian akhir. Juga catatan ia kenal saya dan sekaligus tahun berpisah tanpa  saling mengucapkan salam.
Kawan, kisah itu sudah terputus  selama 43 tahun. Saya seharusnyaus berterima kasih kepada Mark Zukerberg atas pertemuan ini walaupun tak ada tatap muka.  Inilah puisi itu.


“DALAM SUATU CATATAN RINGAN”
 
Kita kembangkan layar
Cuaca, bukan alasan menikam dada ini
Ketulusan telah diberikan kepada kita, antara
rasa dan noda
Betapa lamanya matahari terpanggang,
dibalik kunang-kunang kala malam telah datang
Kita terlahir, dalam bara onggokan tulang-tulang
Kita rindu, dimana kita pernah bernyanyi
Kita tau, dimana kita pernah bertemu
Kita rela, untuk itu kita berjuang
Kita kenal, sesepuh lambang pigura tanah ini
Kudekap wajahmu bernanah dan berbisa,
sepagi melati layu mengharap dan menatap
Kusentuh tanganmu, tanganmu menyala
Kuraba mulutmu, mulutmu tak bernafas
Kupegang pundakmu, hanya dingin belaka
Kebingungan memang lahir dari suatu yang tak dimengerti
Apakah artinya harap dalam cita-cita yang tak bersungguh ?
Gelitiklah tubuhku, kapan nyawa ini telah pergi ?

Saat ini kita berada dalam hujan diburu malam
Lambat pelan diburitan suaramu mengalun lamban
Sebentar lagi kita kan lalui, ombak yang menggunung
laut jarang ditempuh
Sebelum berangkat, periksa kapalmu
Tanyakan juru mudi dan siapa kapitanmu
Dan siapa pula penumpang-penumpangmu
Malam ini kita bertemu dalam suatu tanda silang
Engkau dengar, Mesin kapal menggegap gempita ?
Batu-batu laut pada berserakan, karena getaran mesin ini
Hantu-hantu laut pada membuat ranjau
Dimana kita kan lalui
Engkau lihat, sinar cerlang cemerlang
yang berkekuatan tanpa ukuran ?
Ia akan hilang kapan kau mengukur dengan mata,
mata itu palsu
Kali ini kita bersua, pada garis demarkasi yang menentukan
dan, Kita berbisik bukan pada muka, tapi pada hati
Karena hati lebih dahsyat dari bom seribu megaton
Karena hati lebih ampuh dari segalanya
Peluit sudah berbunyi, layar sudah berkembang
Sebentar lagi kita akan berangkat dan berangkat
Kita akan berangkat
dan berangkat
Dalam menuju suatu cita
Selamat jalan !

Malang, Juli 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar