Rabu, 02 April 2014

Matahari Pagi di Gunung Ijen


Trekking ini saya awali dari sebuah guest house di kawasan perkebunan Ijen. Jam 19.30 WIB check in. Guest house ini menyediakan kamar dan bungalow dengan rate dari 225 ribu, 300 ribu, 360 ribu dan 400 ribu. Fasilitas kamar mandi di dalam, air hangat, televisi serta breakfast. Ada juga kamar ekonomi dengan tarif 150 ribu tanpa fasilitas di atas. Saya menempati kamar yang 225 ribu rupiah semalam. Saya segera memesan porter untuk membawakan bekal dan negosiasi pun berjalan sangat singkat, saya putuskan ongkos porter 150 ribu dari 200 ribu untuk tarif wisatawan asing termasuk transportasi roda dua. Sebenarnya ada kendaraan khusus yaitu Jeep Discovery namun jadwal berangkat jam 02.00. Karena saya takut waktu saya untuk melihat Blue Fire tidak cukup karena langkah saya yang pendek maka saya memilih naik ke pos awal dengan motor.Sedangkan mereka yang ikut Jeep umumnya wisatawan asing.

Negosiasi dengan porter di Lobi

Pukul 00,00 porter memanggil dari luar kamar. Saya sudah siap, selanjutnya kami berdua berangkat dengan motor menuju Paltuding, yaitu pos awal pendakian. Kami melewati perkebunan dan hutan sepanjang 16 Km di kawasan perhutani kecamatan Licin kab. Banyuwangi. Kendati ini bukan yang pertama saya ke G. Ijen tetapi menjadi yang pertama untuk pendakian malam hari, dengan tujuan melihat Blue Fire di kawah Ijen.

Jam setengah satu kami sudah tiba di pos Paltuding. Ternyata di sana sudah banyak penggemar gunung menunggu saat yang tepat. Kami naik tepat jam satu. Wah ternyata banyak sekali pendaki pada pagi ini mungkin karena bertepatan dengan weekend dan libur Nyepi. Jadi pendakian ini tak ubahnya dengan rekreasi di gunung ramai-ramai.

Naik di Kegelapan

Porter menunjukkan banyak keindahan menaiki gunung pada dini hari. Antara lain memandang bintang-bintang yang bertaburan di balik bayangan pokok-pokok pinus. Memang menawan, bahkan ada sekumpulan bintang yang tampak seperti lampu-lampu hias di pohon natal. Dia bilang wasatawan asing sangat menyukai pemandangan ini. Sayang kamera saya hanya kamera digital dan BB saja.

Selain itu di beberapa tempat, dia juga menunjukkan gemerlap lampu di pedesaan di bawah. Yaitu desa Jambu dan desa Licin. Setelah setengah perjalanan di kilometer kedua ia juga menunjukkan indahnya cahaya lampu-lampu dari kota Banyuwangi sampai ke kecamatan Muncar dan berakhir di pantai di kejauhan.

Pada kilometer kedua ini jalan menanjak terus. Nafas mulai terengah dan betis terasa pegal. Banyak pendaki yang mulai kelelahan dan beristirahat di sepanjang pinggiran jalan. Bahkan ada yang muntah-muntah dan terkapar lemas. Kami menolong dengan menggosokkan minyak kayu putih yang disiapkan porter. Namun kami tidak bisa menunggu lama saya segera melanjutkan perjalanan.

Ada gadis remaja yang beberapa kali langsung beristirahat dengan tiduran di tengah jalan sambil memainkan senternya. Saya tahu dia sangat kecapaian karena mungkin ini pendakian pertamanya. Sebenarnya beristirahat dengan duduk lama apalagi berbaring itu  memperburuk kondisi tubuh.

Singkat cerita jam dua kami sampai di pos penimbangan. Pos ini merupakan pos peristirahatan juga. Beberapa pendaki sudah menikmati istirahatnya di bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu. Kami bergabung sebentar, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Masih ada beberapa tanjakan melingkar yang tidak begitu tinggi. Walau begitu karena stamina mulai menurun dan bau melerang sudah tercium rasanya ini menyesakkan.

Pos Akhir Pendakian

Jam tiga pagi sampailah kami di pos akhir pendakian, kawasan terbuka di bibir kawah. Sangat lega rasanya seperti sedang mendapatkan sesuatu yang sudah kita cari dengan susah payah. Begitulah kesenangan di puncak gunung. Tidak terlukiskan apa sebenarnya yang  membuat kita senang. Porter mengajak beristirahat di bibir jurang agar bisa melihat Blue Fire dengan jelas. Tentu saya ragu-ragu karena tempat itu sangat berbahaya, sekali terpeleset batuan lepas itu habis sudah riwayat saya. Tetapi dia seperti memaksa sehingga saya pun berani mengikutinya. Kami duduk di tempat terbuka karena tempat-tempat terlindung sudah dipenuhi pendaki.



Saya menggigil ketika angin pagi mulai menyapu puncak. Saya telah meremehkan pendakian ini sebagai pendakian pemanasan sehingga saya tidak mengenakan jaket tebal dan kaos tangan berbulu. Saya mulai kesemutan sehingga saya berusaha terus menggerakkan jari-jari tangan.
Tangga menuruni kawah penuh oleh pendaki yang sehinngga kami menunggu sambil menikmati sorot senter para pendaki di kegelapan.

Saling Menhangatkan di Celah Batuan



Beberapa pendaki mulai menuruni kawah, Porter mengajak segera turun agar sedikit hangat tetapi saya masih suka melewatkan  menit-menit di ketinggian memandangi bias cahaya kebiruan jauh di bawah.

Jalan Ke Kawah di Kegelapan

 Jarak trekking Ijen hanya 3 Km dari Paltuding ke dasar kawah. Sedang dari pos akhir ke kawah tinggal 800 meter, tetapi......memerlukan waktu satu setengan jam turun dan naik lagi.
Ternyata api biru itu lebih tampak dari bibir kawah. Di dasar kawah tidak kelihatan jelas karena bercampur asap asap belerang. Yang tampak hanya asap abu-abu.














Berbeda dengan kreasi lelehan belerang berikut, tidak kalah dengan lukisan para pesohor.





 Menjelang Sunrise di Bibir Kawah Ijen

Terbitnya matahari selalu menjadi moment yang dinanti para pecinta gunung. Berjam-jam kami rela menunggu sambil melepas lelah di tempat ketinggian. Menit demi menit pergeseran matahari dari balik perbukitan selalu saya ikuti seperti tidak ada satu menit pun yang boleh terlewati. Perlahan pemandangan hitam pekat di hadapan berangsur menjadi abu-abu lalu memutih dan pada akhirnya membiru. Danau kawah mulai tampak mengagumkan. Saya teringat ketika bangun pada pagi pertama di Gunung Rinjani tahun lalu, betapa kaget dan takjubnya saya ketika keluar dari tenda dan melihat danau kawah yang luar biasa indahnya. Dingin yang menyergap  membuat kami hanya mengikuti terbit matahari dari balik jendela transparan di dalam tenda. Dan ketika porter menawarkan kopi saya baru keluar dan.... saat itulah saya baru merasa bahwa saya sudah berada di atas gunung beneran.






Cahaya Blue Fire sudah Memudar



















Pohon Bintang di Puncak Pegunungan

Porter saya ini cukup kreatif, ia mengajak saya berkeliling di ketinggian sekitar bibir kawah dan berinisiatif mengambil gambar saya dari belakang. Setelah itu kami duduk-duduk sambil sarapan sepotong roti, kacang, jeruk dan sebatang coklat. Kemudian ia mengajak saya ke ujung bukit untuk melihat matahari terbit dan berjalan-jalan melihat tumbuhan unik berbatang kayu menyerupai bonsai dengan bentuk yang beraneka ragam, bahkan akar pohon yang sudah mati akibat kebakaran ada yang menyerupai binatang. Pohon ini dinamai pohon bintang karena hanya hidup di ketinggian pegunungan Ijen. Sepertinya memang benar. Saya jadi ingat bunga Mone di gunung Kelimutu, karena daun dan bunganya mirip dengan tumbuhan yang katanya juga hanya ada di puncak gunung Kelimutu itu.

 
                                                        

Bedanya bunga mone pohonnya tidak berkayu besar. Hanya semak perdu berdaun hijau muda berpucuk merah dan berbunga kemerahan serta berbuah merah juga. Begitu juga pohon bintang di sini.


Berweekend dan Libur Nyepi di Gunung

Tunas Baru Pohon Bintang
Akar Pohon Bintang Menyerupai Kepala Naga
Mirip Kepala Udang
Mirip Kecoa
Mirip Mr Crab

 












Turun Gunung

Porter saya terus melihat jam, dan rasa lelah membuat saya juga ingin segera turun agar bisa beristirahat tidur sebelum check out. Kami turun dengan lebih banyak berlari kecil  untuk mengurangi tekanan berat badan terutama pada ujung jari kaki. Pada tempat-tempat datar saya sempatkan lagi mengambil beberapa foto dan bercakap-cakap dengan pendaki lain. Seorang gadis yang tertinggal oleh rombongannya bergabung.
Berikut adalah foto-foto itu:
Matahari di Balik Kabut
Gadis Jakarta Berpose
Porter Kita


Pos Penimbangan di Pondok Bunder
Rest Point



Mengakhiri Perjalanan

Kami langsung kembali ke Tamansari, tempat saya menginap. Selanjutnya saya mau tidur karena semalam kurang tidur.

Yang Pertama Menarik Perhatian

Jam tujuh pagi kami sudah kembali ke guest house. Begitu sampai saya langsung... have breakfast. Ada tiga menu yang tersedia yaitu nasi goreng, supermie dan roti panggang. Saya meminta nasi goreng dan kopi. Selanjutnya mengambil foto lagi dan membayar porter dengan sedikit uang tip. Selanjutnya hmmm mandi air hangat. Dan tepat jam dua belas meninggalkan guest house. Selamat tinggal Ijen Resto, Selamat tinggal perkebunan dan Selamat tinggal jejak kaki saya.





Gerban Alamanda di depan kamar

Ternyata ada Durian Berbuah



Selanjutnya pulang.....


Mencetak Kenangan

Inilah perjalanan singkat saya ke gunung Ijen. Walau dengan membayar mahal untuk ukuran saya, saya puas. Dan saya masih ingin mengulanginya satu saat nanti. Kerinduan perjalanan di gunung memang seperti candu yang selalu membuat kita ketagihan dan ingin kembali. Karena di sini kita akan menemukan apa yang tidak kita dapatkan di kota.

Saya teringat sebuah semboyan pendaki yang tertulis di Gunung Bagging Website:

Tidak mengambil apa pun kecuali mengambil foto
Tidak meninggalkan apapun kecuali meninggalkan jejak
Tidak membunuh apa pun kecuali membunuh waktu
Tidak mengalahkan apa pun kecuali mengalahkan ego.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar