Minggu, 18 Agustus 2013

Mendaki Gunung Rinjani


Pembaca, pada akhirnya saya bisa mewujudkan impian saya untuk mendaki Gunung Rinjani. Tidak terkira sulitnya menempuh perjalanan menuju ke sana sekalipun dari kejauhan gunung ini tampak mulus.


Gunung Rinjani Sebelum Pos Satu


Perjalanan dimulai dari desa Sembalun Lawang. Dari kota Mataram memerlukan waktu hampir tiga jam dengan mobil ke  arah  timur.










 





Jam sembilan malam kami tiba di desa Sembalun Lawang dan langsung menginap di tempat yang sudah disediakan porter. Suhu udara di Sembalun sangat dingin sehingga di setiap kumpulan orang selalu ada api unggun untuk menghangatkan diri. Mereka menyebutnya merindu. Kami tidur di dalam sleeping bag,walau begitu kami sulit tidur juga karena masih ke dinginan.


.

Jam enam pagi kami bangun selanjutnya porter membelikan kami sarapan nasi bungkus lalu bersiap memulai perjalanan.Tim kami ada delapan orang dengan empat porter yang bertugas membawa perbekalan dan sekaligus memasak selama di camp nanti. Perjalanan diawali menggunakan kendaraan Pickup L-300 menuju start pendakian setelah melapor dan membeli tiket di pos Taman Nasional Gunung Rijani.Harga tiket adalah Rp 2500 perorang.


Masih Segar Berseri Semuanya


Kendaraan berjalan menyusup di sela-sela tumbuhan yang rapat memagari jalan sempit dan bergelombang hingga berakhir di sebuah jurang. Sebelum melangkah kami berdoa terlebih dahulu dengan berdiri melingkar lalu menyatukan semangat dengan menyusun telapak tangan. Sementara para porter sudah mengangkat perbekalan kami.




Dengan langkah gembira kami bergerak menyisir sungai kering menuju lereng-lereng perbukian yang tertutup oleh rumput alang-alang dan selanjutnya melewati padang savana yang terbentang luas. Jalan tidak rata karena jalan setapak itu sebenarnya merupakan jalan aliran air hujan dari tempat yang lebih tinggi menuju celah dan sungai tadah hujan.





Nikmatnya Berteduh


Panas mulai terasa sebelum mencapai pos satu yang memerlukan waktu sedikitnya empat jam. Kami istirahat sebentar di pos bayangan untuk minum. Porter menyiapkan minuman dan menyajikan nanas. Terasa sangat nikmat. Kendati sudah mulai letih rasa penasaran tetap memberi semangat kami. Melanjutkan perjalanan lagi masih menyusuri jalan setapak di tengah savana hingga pos satu. Di sini kami beristirahat cukup lama untuk makan siang dan solat lohor. Para porter bersiap memasak dan menggelar matras. Banyak rombongan lainnya juga beristirahat di sini walaupun di bawah terik matahari dan semuanya kecapaian. Tidak banyak yang berbicara hanya duduk-duduk atau berbaring diam-diam.


Capek Banget



Semua Takluk



Menghimpun Tenaga





Setelah cukup semuanya, perjalanan dilanjutkan lagi menuju pos dua. Seharusnya pos ini normalnya hanya memerlukan waktu satu jam dari pos satu. Tetapi kami berjalan lambat sehingga dua jam kemudian kami sampai pos dua. Kaki mulai terasa penat. Kami langsung berselonjor di pos kecil dan berikutnya beberapa rombongan tiba dan kami semua berbaur. Mereka adalah anak-anak muda pecinta alam dan wisatawan asing. Sama dengan saat istirahat di pos satu para pendaki itu juga lebih banyak diam.


Siap Melanjutkan


Hanya setengah jam beristirahat, kami jalan lagi menuju pos tiga. Jarak tempuh kali ini sama lamanya dengan pos nol ke pos satu. Panjang, dan bukit-bukitnya semakin berliku dan mendaki. Jam lima sore kami tiba di pos tiga. Kami sudah sangat capek dan ketika mendengar kata harus ngecamp di pos tiga karena kebakaran hutan menutup jalan yang akan kami lalui saya sangat senang. Namun, ketua rombongan mengatakan jalan terus. Waduh, terpaksa jalan terus, sementara rombongan lainnya sudah beristirahat. Jika mengikuti peraturan, di pos tiga ini kami harus menginap jika lewat jam tiga sore. Karena setelah pos tiga ini pendaki akan memulai muncak, menurut istilah porter. Kami harus mendaki lima bukit terjal dan seharusnya tidak boleh ditempuh pada malam hari karena berbahaya.


Melewati Pos 3


Tidak terbayangkan begitu sulitnya menempuh perjalanan ini dalam keadaan letih dan lapar. Kami sudah terpisah-pisah dan porter entah sudah sampai di mana. Mula-mula pendakian di celah-celah bukit berbatu lalu melewati punggung dan lereng-lereng gundul yang berdebu dan licin. Jika melewati puncak-puncak perbukitan yang dipenuhi akar-akar pinus treasa sedikit membantu menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir, namun itu juga kami lewati dengan susah payah dan kadang-kadang juga merayap dan merangkak. Kami mendaki dan mendaki berusaha tidak kemalaman di bukit-bukit penyesalan. Ya bukit yang kami daki saat itu dinamai bukit penyesalan. Bukit-bukit yang sangat sulit didaki dan tidak munkin akan kembali. Tidak jarang kami temui pendaki yang tampak putus asa bahkan ada yang menangis.


Merayapi Bukit



Sampai Matahari Terbenam


Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami perlu beristirahat, kami duduk sebentar di bawah pohon pinus. Saat itu tampak bukit-bukit yang sudah kami lampaui. Sudah sangat jauh dan tinggi tempat kami berada tetapi belum ada tanda-tanda akan sampai di tempat tujuan. Saya masih sempat megirim gambar ke grup BBM, anak saya sedikit kesal karena kami sedang berada di tempat yang berbahaya di tepi jurang. Memang di manapun berada kiri kanan kami adalah lereng-lereng bukit yang terjal dan jurang.

Malam Datang


Sekarang matahari benar-benar tenggelam, kami tidak tahu bagaimana jalan di depan. Apakah masih akan mendaki dan mendaki. Setiap berpapasan dengan pendaki yang berlawanan arah mereka selalu menjawab sudah dekat dan selalu memberi semangat. Aneh, semua orang di sini sangat sopan dan saling menghargai. Bahkan saling menyayangi seperti sesama saudara sendiri.

ohoho ternyata yang namanya dekat itu adalah dekat dalam pandangan mata tetapi sangat jauh dicapai oleh kaki. Kami melihat nun jauh di sana lampu-lampu senter mulai menyala jauh di atas bukit depan. cahaya-cahaya itu sepert cahaya menara di ketinggian. Rasanya tak percaya jika cahaya itu ada di darat, bukan diudara. Terlalu tinggi untuk dicapai. Namun tidak ada pilihan, kami merayap terus di remang cahaya senter. Pada saat itu medan semakin parah, jalan mendaki dengan kemiringan serasa 45 derajat yang berdebu campur kerikil membuat kami kesulitan melangkah. Kami sering merangkak dan merayap berpegangan rumput di pinggir jalan. Udara semakin dingin dan suara angin yang menderu-deru memperparah perjalanan kami. Anak saya terus membantu saya berjalan di medan yang sulit dan berbahaya. Ini adalah bukit keempat.Bukit terparah. Saya tinggal berdua dengan anak saya. Ketika ada empat pemuda sedang beristirahat kami berdua bergabung tetapi saya tidak duduk, saya bersandar pada pohon pinus sambil menarik nafas panjang-panjang. Saya tidak membawa makanan sama sekali karena semua dibawa oleh porter. Salah seorang pemuda menawarkan sebutir permen coklat untuk memulihkan tenaga katanya, saya terima dan kami sama-sama puas. Ini yang membuat kami tetap semangat dan tak menyerah dengan rasa capek. Sementara jauh di belakang kebakaran hutan tampak membara di lereng-lereng bukit,

Hanya Berjalan di Kegelapan

Masih satu bukit lagi katanya...oo Tuhan keseimbangan saya sudah tidak stabil lagi, menoleh sedikit bisa tergelincir atau roboh. Jadi saya hanya melangkah dan melangkah tak mau tahu lagi kapan akan sampai ke tempat tujuan. Rombongan pendaki semakin jarang melintas. Jarak kami semakin jauh dan pada saat istirahat sambil membungkuk atau berdiri saya sempatkan melihat ke bawah, yang terlihat adalah kobaran api kebakaran hutan di kejauhan. Kebakaran ini sudah terjadi sejak tadi pagi saat kami masih di kaki bukit.


Perjalan hari pertama ini menjadi perjalanan tersulit karena seharusnya ditempuh dalam waktu dua hari tetapi kami mengambil satu kali jalan. Ini gila, benar-benar perhitungan gila yang membuat kami ambruk sesampai di camp dan membuat porter uring-uringan saking capeknya.
Adik ipar saya sudah tidak sanggup berjalan lagi. ia rebahan di pinggir jalan setapak,kami bergabung, akhirnya ia mengirim pesan SOS pada yang sudah di atas untuk minta bantuan. Begitu banyak pendaki yang sudah di atas turun lagi untuk membantu teman-teman mereka juga.
" Harapan baik!! lima menit lagi sampai di camp!!" Ada yang memberi semangat pada temannya. "Byurrr...." seperti mendapat siraman air di sekujur tubuh rasanya mendengar kalimat itu. "Apa?" Hampir kami tidak percaya karena banyaknya kalimat serupa yang kami dengar sejak siang tadi.
Tidak lama kemudian tampak dua orang turun di kegelapan dengan senter kepala bergerak-gerak mengikuti langkahnya. Benar dia adik saya yang menjemput istrinya. Saya duduk di tepian lalu perlahan kami berjalan lagi. Masih sulit, terjal, licin dan berdebu.

Hai di sebelah kanan atas tampak senter menyoroti jalan kami. Itu anak saya sudah sampai. Itu campnya!!! Alhamdulillah kami mepercepat langkah berbelok ke dataran tinggi di balik tebing. Bahagianya kami, terseyum lega dan tanpa membersihkan badan langsung ambruk di matras dalam tenda. Saat ini jam sebelas malam. Tampak bulan sabit gemuk miring di bawah bukit. Langit kelam Sangat indah dipenuhi jutaan bintang tanpa awan. Itulah malam pertama kami di pos plawangan I di ketinggian sekitar 3000 meter. Seandainya udara tidak menggigit dinginnya saya ingin menikmati malam yang indah dan hening itu sampai puas.
Malam ini kami tidak makan karena porter tidak bisa mencari kayu sebab kemalaman. jadi kami hanya makan biskuit dan mie instan kering serta minum air putih saja. Kami berusaha tidur dalam dingin yang menggigil. Tengah malam anak saya membangunkan saya karena melihat kantung tidurnya bercahaya seperti ada aliran listrik. Saya berpikir kantung ini dilengkapi batere untuk penghangat.Lalu kami tidur beradu punggung untuk menghangatkan. Itulah malam pertama kami di camp Plawangan I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar