Sabtu, 17 Juni 2017

Masa Kecill Bersama Nenek

Masih tentang masa kecil
Rumah nenek dekat dengan stasiun kota Bojonegoro menghadap kawasan stasiun. Di pinggir jalan raya Surabaya-Cepu. Hanya di pagari dengan pagar kawat berduri lalu petak sawah sepanjang kurang lebih 200 m dari stasiu mengikuti rel kereta lalu disambung dengan perumahan PJKA sampai persimpangan jalan.Dahulu di persimpangan itu pada pagi hari dijadikan pasar kecil. Ramai sekali. Pedagang sayur dan bahan pokok seperti beras ubi dan jagung menggelar dagangan di pinggir jalan di atas alas seadanya. Pedagang penganan yang kala itu dibuat dari bahan alam tanpa olahan seperti kacang rebus, ketela rebus, pisang rebus dsb. Dijajakan di sebuah tampah, yaitu talam bundar dari anyaman bambu yang diletakkan di atas rinjing. Rinjing adalah bakul besar dari anyaman kulit bambu halus yang fungsinya sebagai wadah bawaan yang digendong di punggung.
Para pedagang tradisional itu umumnya tidak menggunakan timbangan saat menjual dagangannya seperti bumbu dan rempah-rempah mereka hanya menakar dengan menjumput secara kira-kira saja.
Alat pembungkus dagangan adalah daun jati. Termasuk membungkus beras, yaitu dengan cara menyusun daun jati membentuk kerucut. Kerucut daun itu muat sampai tiga kilo beras atau jagung.

Saya senang ke pasar mengikuti nenek ketika libur sekolah. Nenek saya mula-mula ikut berjualan hasi kebun seperti kelapa dan daun pisang. Terkadang jika ada pisang masak atau ubi pohon juga dijual lalu hasilnya dibelikan lauk-pauk seperti ikan pindang, kaki kambing atau tahu tempe dan sedikit teri.
Soal sayur kami tinggal memetik di kebun. Jika musimnya, tomat dan cabe juga tinggal minta di rumah paman. Begitu juga berbagai jenis labu kami semua menanam sendiri di kebun, sawah dan di pekarangan rumah.
Bermula dari kebutuhan untuk membeli lauk dan bumbu, selanjutnya nenek mencoba berjualan barang-kelontong seperti benang, jarum peniti, jepit, sendok, perhiasan imitasi, bedak, sisir dsb. Ternyata ini menyenangkan nenek dan bertahan sampai nenek lanjut usia

Jika datang bulan puasa, dalam suasana gelap karena listrik belum ada di desa kami,hanya stasiun saja yang ada listrik dan penerangan jalan yang remang-remang juga, untuk menandai saat sahur, terdengar suara bel dari setasiun yang berupa pukulan pada besi sebanyak dua belas kali dan selanjutnya akan terdengar suara suling yang memilukan dari cerobong uap lokomotif. Itu terjadi setiap hari sekitar jam dua pagi menandakan satu jam lagi kereta sudah siap.
Selanjutnya terdengar jasss jusss jasss juss daan tuiiiitt tuittt kereta berjalan maju mundur s3cara perlahan. Lalu terdengar dentang besi bertautan menunjukkan kereta tersambung dengan lokomotif.

Bentuk lokomotif ini bagus dan enak dipandang, berwarna hitam legam dengan moncong bundar di atasnya agak ke belakang sedikit tampak mainis di ruang kemudi menghadap lurus ke depan. Pakaiannya rapi seragamnya hitam bertopi seperti topi polisi dengan lambang apa ya saya lupa di bagian tengahnya terbuat dari kuningan yang disemangatkan longgar sehingga bisa bergerak-gerak. Masinis ditemani pembantunya yang berdiri di pintu mengawasi keadaan sekitar. Saya juga senang bermain di setasiun. Setasiun tempoe doloe, lantainya ubin kotak-kotak kecil seperti lantai kamar mandi, ruang-ruang kantornya berjendela besar-besar dengan daun jendela berlapis. Bagian dalam jendela kaca dan bagian luarnya jendela krepyak bersusun-susun rapi sebagai ventilasi tetapi juga membuat daun jendela itu indah dan gagah dalam keadaan terbuka maupun tertutup.
Warna cat setasiun itu didominasi warna abu-abu pada dinding maupun pintu dan jendela serta gudang-gudangnya.
Setasiun menjadi tempat yang nyaman untuk kongkow-kongkow kala itu. Bersih dan luas. Sebenarnya tidak semua orang boleh masuk ke peron, tetapi penduduk sekitar bermata pencaharian di setasiun sebagai pedagang asongan dan pedagang makanan dihalaman setasiun. Kami sudah dikenali oleh penjaga yang sebagian juga penduduk setempat sehingga kami diijinkan masuk.
Tetapi jika penjaga bukan orang lokal kami tidak boleh masuk. Walau begitu kami tidak kurang akal, kami masuk ke kawasan melewati pagar berduri dekat rumah kami di seberang jalan lalu menyusuri pematang srmpit sepanjang pagar kawat berduri dan sampailah sudah kami di belakang gudang setasiun lalu menyelinap di antara pedagang asongan dan para calon penumpang.
Saya mengikut saja ketika kawan-kawan menaiki kereta yang akan langsir. Masinis atau kondektur mengizinkan kami ikut, terkadang madinis mengajak kami di lokomotif. Jika sudah begitu kami merasa sukses bermain hati itu namun itu menjadi rahasia kami sepulang dari setasiun karena kami takut dimarahi. Tetapi pada akhirnya jika nenek tahu, nenek tidak pernah memarahiku. Itulah yang membuat aku melupakan ayah ibu yang bingung bagaimana cara membawa saya pulang.

Berulang kali saya diambil ketika saya tidur lelap, tetapi jika saya terbangun saya menangis dan tidak bisa tidur lagi sehingga pada akhirnya ayah akan mengantar saya kembali ke nenek dengan dibonceng sepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar