Kamis, 15 Juni 2017

Kenangan Masa Kecil



     Saya terlahir sederhana, hanya dibantu oleh seorang dukun bayi yang ada di kota dan tanpa kehadiran ayah karena ayah berdagang ke luar kota untuk waktu yang lama. Sebenarnya keluarga ayah dan ibu adalah petani walaupun tidak pernah mengerjakan sendiri. Selanjutnya ayah dan ibu berdagang. Ayah pedagang tembakau dan ibu pedagang batik. Maka kelas kami naik satu tingkat dan kenaikan itu bukan pekerjaan yang bisa diraih dengan mudah. Dengan perjuangan keras dan tidak mengenal putus asa, terutama ayah. Berkali-kali jatuh tetapi berkali-kali juga sukses. Dari kesuksesan itu jadilah kami yang sekarang.



Masa kecil saya adalah awal perjuangan itu. Ayah sangat keras mendidik saya yang masih awal sekolah. Saya tidak tahan dengan cara ayah mendidik saya, mungkin, karena itu ketika nenek dari ibu datang tepat saya habis dipukuli ayah karena tidak mau berangkat sekolah, saya pun langsung bilang kepada nenek bahwa saya akan ikut padanya.

Sejak itulah saya dalam pengasuhan nenek. Saya putus dari Taman Kanak-Kanak karena nenek tidak memasukkan ke sekolah TK lagi dan membiarkan saya menunggu masuk se
kolah dasar. Saya iri melihat anak-anak belajar di TK. Saya senang mengintip mereka belajar dari jeruji bambu yang menjadi jendela sekaligus ventilasi dan juga sebagai bagian atas dinding kelas. Saya dan teman sebaya yang tidak sekolah TK setiap hari mengintip dan melihat keceriaan anak-anak yang ada di dalam kelas.

Tidak tepikirkan oleh saya untuk memprotes kala itu. Saya senang saja karena sudah mendapatkan segala yang dibutuhkan anak-anak. Bermain dengan banyak teman, berjalan dan bermain ke tempat-tempat baru di sekitar desa. Ke sawah mengirim makan siang untuk paman dan bermain dengan ikan-ikan kecil di sawah ketika awal musim tanam. Ikan-ikan wader berseliweran di bawah rumpun padi, dan berkumpul di saluran yang menghubungkan antara petak sawah. Di situ permukaan sawah terkadang tidak sama sehingga aliran air turun dan melarungkan ikan-ikan kecil dan berkumpul di pusaran yang sedikit dalam. Airnya jernih dan sejuk.

Dan jika musim panen tiba kami juga ikut ke sawah melihat perempuan berbanjar di tengah hamparan padi yang kuning kecoklatan. Mereka sedang memotong padi, tangan mereka lincah menggerakkan tangan memotong helai padi dengan anai-anai, yaitu pisau pemotong padi berbentuk salib tak berkaki dengan mata pisau di bagian palang datarnya.
Jari-jari tangan perempuan itu berkolaborasi menggerakkan pisau dengan cara jari telunjuk dan jari manis sebagai pemotong, jari kelingking dan ibu jari sebagai pegangan palang dan jari tengah sebagai penekan.
Kami juga diperbolehkan mencoba tetapi tentu kesulitan untuk memotong batang padi karena jari-jari kami yang kecil.

Paman dan pembantunya mengumpulkan padi dan menunggu perempuan-perempuan itu menyetorkan hasilnya. Helai-helai padi dikumpulkan oleh masing-masing pemotong dan paman menjaga agar tidak terjadi kecurangan satu dengan yang lain. Setelah waktu pemotongan selesai pada sore hari. Upahpun langsung diberikan, dengan cara memberikan sebagian dari hasil yang didapatkan. Masih saya ingat nenek mengukur banyaknya helai padi dengan cara mengumpulkan helai padi sebanyak cengkeraman dua tangan sampai pertemuan dua jari telunjuk dan dua ibu jari. Setelah diukur padi-padi itu kemudian diikat dengan tali yang dibuat dari pelepah pisang yang dilayukan. Setelah semua selesai ikatan-ikatan padi  itu ditata berjajar rapi di pematang. Setiap satu ikat padi yang didapat diupah sesuai dengan kesepakatan yang lazim yaitu satu genggaman satu tangan yang mempertemuan jari  telunjuk dan ibu jari.

Pernah juga ada pemotong yang tidak puas tetapi pada akhirnya semua selesai dengan baik. Nenek adalah orang yang sangat sabar dan disegani.

Yah itulah sebagian masa kecil yang tidak saya lupakan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar