Sabtu, 05 September 2015

Secercah Kehangatan Hari Ini



          Yang tidak saya punya adalah rasa sabar. Ayah saya dulu pernah mengatakan bahwa saya keras hati. Saya ingat waktu itu saya sedih dikatakan begitu dan berpikir sifat saya buruk di antara saudara-saudara yang lain. Saya hanya diam dan terus berpikir. Karena dalam kenyataannya saya selalu menjadi yang terkelahkan, sejak saya kecil sampai saat ini. Apa yang sudah diberikan kepada saya jika ada adik saya menginginkan saya harus mengalah dengan kesadaran atau terpaksa. Saya tidak pernah boleh menolak.
Peristiwa begini sudah berkali-kali begini.
Pengalaman ini ada baiknya menjadi pelajaran berharga buat saya. Saya tidak lagi terlalu menyintai benda.
Benda kesayangan harus saya anggap sebagai benda biasa sama dengan benda lain. Saya tidak mau lagi melihat benda benilai seni dan budaya tinggi sebagai benda istimewa apalagi ingin memilikinya.
Sebenarnya banyak benda bernilai tinggi di rumah saya, mebel jepara antik zaman Belanda, keramik cina zaman dinasti Ming, Perabotan meja makan buatan Belanda tahun 1800 M dsb.
Benda-benda itu sebagian sudah keluar rumah dan bertebaran menjadi penghias beberapa rumah lain.
Terkadang saya terganggu melihatnya lagi di tempat lain. Ada pilu menyayat karena benda itu masih cocok menghiasi rumah tua.
Saya ingat ketika ayah meminta saya membayar satu set kursi tamu antik saudara saya marah dan membayarnya dengan harga rendah.
Bersyukur sampai saat ini saya bisa menahan diri membawa apapun benda bernilai dari rumah. Saya katakan saya sudah menganggapnya sebagai benda biasa. Untuk memenuhi keinginan memiliki mebel saya membuat duplikatnya. Begitu juga dengan perabot saya mebeli tiruan yang mirip. Entahlah saya memang menyenangi benda-benda peninggalan nenek di rumah tua itu. Memang ada satu set kursi tetapi yang saya bayar tetapi sebenarnya kursi itu dulu kursi usang yang saya rawat dan ayah mengijinkan saya memiliki. Sempat adik saya mempertanyakan tetapi ayah sudah menjelaskan bahwa ayah meminta saya untuk membayarnya. Sekarang saya berpikir seharusnya saya tidak melakukannya. Kursi itu kondisinya sudah tidak kokoh lagi tetapi kecantkannya bagiku tetap mempesona.

Pembaca, kembali pada satu hal yaitu kesabaran. Kemarin saya marah kepada anak kedua saya hanya sebab ia mengabaikan apa yang saya katakan. Menganggap sepele apa yang menjadi kepentingan orang lain seperti kebiasaannya menunda dan menyepelekan pekerjaannya. Saya terus berpikir masalah kecil dan besar banyak datang darinya. Sebenarnya ada penyesalan juga marah karena soal kecil. Sepertinya kemarahan ini terlontar dari tumpukan kekesalan atas banyak tindakannya yang tidak pernah menyenangkan orang tuanya. Meremehkan.
Bersyukur, Sulung saya menelepon mengatakan akan ke Sanfransisco, Pasadena dan Nevada untuk suatu tugas  dari kementerian ESDM minggu depan. Ia selalu memberitakan hal yang baik tentang pekerjaannya, kami selalu berhubungan dengan yahoo messenger jika ia berada di luar negeri. Minggu lalu Si Bungsu juga mengatakan akan bersama saya ke puncak B29 pada liburab Idul Adha serta berhari raya di rumah keluarga di Banyuwangi.

Sebenarnya saya masih ragu tentang adanya keluarga yang sempurna. Seperti apa kesempurnaan itu sangat sulit mengukurnya. Jika ada keseimbangan antara senang dan susah itu sudah cukup. Keseimbangan ini sudah memberi keadilan bagi hidup saya.
Semoga Allah selalu menjaga anak-anak saya dan menjadikan mereka orang-orang yang berguna bagi orang lain dan tentu didekatkan pada ketakwaan. Amin












Tidak ada komentar:

Posting Komentar