Kamis, 05 Februari 2015

Sunyi itu

Seperti ada perjanjian tak tertulis antara kami, sejenak setelah mereguk kopi di teras, burung tekukur itu datang di puncak pohon perindang jalan. Suara yang sabar memelas membalas salam dari teman-temannya jauh diseberang.
Damai mendengar suaranya, suara kebebasan yang sangat bening berirama. Sayang kemudian suara itu ditingkahi tekur pendek-pendek dan sedikit tak sabar dari burung tekukur lain. Mungkin ia burung jantang yang mendekati. Dan benar kini mereka sunyi.

Ah mengesalkannya, kedamaian ini selesai dan senja ini menjadi senja biasa. Senja yang selalu datang dan pergi tanpa terasa sehingga tahu-tahu kita sudah berada di ujungnya.

Kawan, ketika nanti datang suatu masa Anda berada di ujung usia Anda akan merasa sepi yang saya rasai sekarang. Ketika masing-masing anggota keluarga kecil saya telah mengambil jalan hidup masing-masing, saya seperti kehilangan separo hidup saya.

Tetapi saya bangga, mereka bukan kanak-kanak lagi yang harus saya pegang erat saat berjalan. Mereka menjadi lebih hebat dari ayah ibunya, meteka berani memasuki kerasnya kehidupan dalam persaingan orang-orang hebat. Jarak tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk datang pada setiap kesempatan.

Kemana mereka terbang jika melintasi pulau Bali, mereka menyempatkan diri melihat orang tuanya. Saya bangga karena saya biasa melihat banyaknya orang-orang tua yang sangat lama tidak dilihat anak-anaknya. Mereka juga membanggakan anak-anak tetapi hanya mendapatkan sedikit perhatian anak-anak mereka.

Yah....sepi memang, sangat sepi. Seperti sudah pernah saya sitir sajak penyair Amir Hamzah, bahwa sunyi itu duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu lampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar