Minggu, 18 April 2010

Joging tadi pagi






Menunggu telepon menjadi hal yang tidak menyenangkan. Terkadang dengan mematikan handpone bisa mengurangi ketidaksenangan itu.Dan tidur pun menjadi nyenyak.
Jam setengah lima aku bangun. lupa ini hari Minggu. Dan aku sadar akan ada waktuku untuk menemukan lagi semangat baru.
Lalu kami joging setelah kuputuskan acara pagi ini Joging saja. Kami ke Pantai Yeh Gangga, Pantai selatan kota Tabanan. Sepi walau sudah hampir jam delapan kami tiba di sana. Pantai ini terus berubah. Tepian pantai sedikit berundak terjal karena abrasi semalam. Aliran air sungai berbelok sejajar pantai dan lebih dalam dari biasanya.
Kami berjalan di pasir basah sambil bercakap-cakap. Memang suasana yang bisa membuat semua masalah menjadi berangsur cair.
Satu jam bolak-balik. Ketemu turis dengan pemandunya. Mereka berkuda menyusuri pantai. Aku bilang pada suami bahwa kedua turis itu sedang menaiki kuda yang sedang joging.
Wah menyenangkan keringat kami bercucuran karena matahari mulai meninggi. Aku bilang pada suami kalau kami tinggalkan Bali kami akan kehilangan semua ini.

Kamis, 15 April 2010

Menunggu kabar dari Grand Tropic

Sudah seminggu si bungsu di Grand Tropik Jakarta. Tapi belum ada kabar untukku. Terakhir aku baca postingnya bahwa dia seneng banget di sana. Segala fasilitas istimewa ia dapatkan. Tetapi aku belum tenang kalau dia belum kabarkan pilihan pekerjaannya di BRI yang sekarang sedang dijalani masa Trainingnya.
Aku mau nelpon atau sms tapi takut mengganggunya. emoga saja ia tidak kecewa dengan apa yang telah diambilnya.

Rabu, 14 April 2010

Menunggu

Menunggu kata orang itu membosankan. Tetapi menunggu sebenarnya lebih dari membosankan apabila kita hanya menunggu seuatu yang tidak menentu. Seperti penungguanku kali ini.

Terasa sakit seluruh tubuhku. Melelahkan walau tidak mengerjakan pekerjaan berat. Tapi ya sudahlah sabar dalam penantian akan menjadi obat. Semoga penantian ini akan selalu ada ujungnya dan tidak sia-sia.

Memang aku sudah memilih untuk terus menanti.

Kapan Kita Merasakan Bahagia Lagi Nak ?

Sudah lama rasanya kita meninggalkan kata bahagia di antara kita. Tak kita ketahui siapa sebenarnya yang telah menggeser kebahagiaan kita dahulu. Saat penuh canda dan tawa ria. Saat-saat kita bernyanyi bersahutan, berjalan bergandengan menyusuri taman-taman indah yang pernah kita kunjungi.
Ketika itu kalian masih anak-anak dalam pandanganku. Kalian saling berbagi saat bertemu kala beranjak remaja, dan saling bercerita kala berkumpul menjelang dewasa. Mengabarkan pengalaman masing-masing selama di perantauan.
Namun kita tidak pernah menyadari apabila perlahan-lahan kebahagiaan kita menjauh.Meninggalkan kita sejak kalian mulai mengerti arti pengkhianatan. Satu- demi satu masalah bermunculan. Kalian yang tidak berdosa menjadi tersia-siakan. Kalian kehilangan tawa dan canda yang sebenarnya.
Maafkan Mama, Penderitaan mama telah menghilangkan tawa dan canda. Kalian menggantikan tawa itu dengan kata-kata orang dewasa untuk mama. Kalian sibuk memikirkan mama yang tersia-sia. Maafkan mama.Semoga di depan sana bahagia kalian sudah menunggu dan akan ada tawa dan canda baru dalam keluarga kalian.

Sabtu, 10 April 2010

Sublimasi

Memahami orang lain merupakan pekerjaan yang teramat sulit. Kebiasaan diri sendiri tidak bisa dijadikan ukuran untuk menilai orang lain. Terkadang kita berpikir orang tidak menghargai kita ketika orang tsb tidak melakukan apa yang kita inginkan. Padahal orang itu tentu mempunyai alasan sendiri mengapa ia tidak melakukan.

Yang terjadi selanjutnya adalah pengambilan kesimpulan yang ternyata salah. Sangat salah.

Karena itu sublimasi itu perlu untuk menghasilkan perubahan yang positif.Sublimasi hati,rasa dan yang bisa jiwa memahami dan dipahami antar manusia.

Hotel Azzahra

Hotel Azzahra

Jam dua belas malam waktu setempat kami tiba di kota Madinah. Pemandangan di daerah pinggiran kota suci kedua di negeri King Abdul Aziz ini muram dan beku. Suhu udara berada di bawah 20 derajat celcius membuat tubuh terasa kaku karena kedinginan. Kami menunggu pemeriksaan paspor dan imigrasi di dalam bis. Tak banyak orang yang ada di terminal pemeriksaan itu . Tidak terlalu sibuk. Beberapa orang laki-laki berdiri menunggu petugas imigrasi selesai memeriksa kami.Pakaian mereka sangat berbeda dengan penduduk kota Mekah yang memakai jubah dan gamis. Di sini cara berpakaian mereka sama dengan pakaian orang pada umumnya yaitu celana panjang,dan tentu saja kemeja yang ditutup dengan mantel, jas, atau sweater.
Selesai pemeriksaan perjalanan dilanjutkan menuju pusat kota Madinah. Jalan-jalan raya yang lebar bersilangan tampak lengang. Penerangan di kota ini tidak seterang di kota Mekah. Sekalipun lampu berderet rapat di sepanjang jalan yang kami lalui.
Perjalanan darat yang melelahkan sejauh kurang lebih lima ratus kilometer melintasi padang pasir, gurun dan oase yang kerontang itu menjadi pengalaman tersendiri. Dan mengajarkan kepada kita tentang sebuah keberuntungan apabila kita terlahir di negeri yang tanahnya subur. Indonesia ,Tanah Air kita tempat tumpah darah kita. Perjalanan seharian tadi berbicara kepada kita bahwa di sini semak-semak pun enggan bernafas karena tidak lagi punya daun, tiggallah ranting yang meranggas dibakar matahari. Dan ketika senja tiba, Bola matahari yang menyala perlahan-lahan membenam telanjang ke balik gurun tak diselimuti kabut.
Larut malam kami tiba di hotel Azzahra Flower yang berada di sebelah barat pusat kota Madinah. Hotel berbentuk kotak di sudut jalan tak jauh dari jalan raya itu tidak begitu besar. Tidak ada pegawai dengan pakaian necis berdasi serta ramah seperti di negeri kita. Hanya ada tiga orang pekerja berpakaian biasa menyambut kami, rombongan bis terakhir yang menempati hotel itu. Kami berebut memasuki lift dengan barang bawaan kami. Di lantai tiga kami kelompok yang berjumlah dua puluh orang ditempatkan.
Lantai tiga ini memiliki 20 kamar saja yang mengelilingi ruang makan, dapur dan kamar mandi. Walaupun tidak baru lagi hotel ini bersih dan nyaman dengan kamar-kamar yang memiliki jendela menghadap ke jalan yang mengelilingi hotel itu. Mereka yang berpasangan sepakat menempati kamar besar berisi delapan tempat tidur. Kami yang sendiri tanpa suami bergabung memilih tempat di kamar sudut berisi empat tempat tidur. Kamar Cantik dengan pemandangan luas menghadap jauh ke jalan raya utama
Aku mengambil tempat tidur depan jendela itu, di kejauhan tampak lampu-lampu berkedip putih dan kuning bergantian seperti berlomba menerangi Jalan yang sudah sepi. Beberapa mobil berlalu lalang tampak lincah dan cepat meluncur di kejauhan. Tiang-tiang listrik dan kabel-kabel serta bayangan gedung-gedung bertingkat di sekitar Azzahra tertidur dalam dingin malam.
Ketika kami sedang asyik menikmati panorama malam sudut kota Madinah sambil beristirahat, ketua kelompok kami datang dan memberitahu kami bahwa para perempuan digabung di kamar besar dan para lelaki di kamar-kamar ideal.Tentu saja kami menolak dan kesal. Kami berdebat sengit dan salah seorang teman menangis sambil menggerutu.Tetapi akhirnya kami para perempuan menerima dengan terpaksa dan sedikit sakit hati. Kami perempuan,datang duluan memilih tempat duluan dan tanpa suami diperlakukan begitu mudah.
Kamar besar berisi tujuh orang ini menjadi penuh sesak. Hanya sedikit ruang tempat ngobrol,makan dan solat di tengah kamar. Seluruh lantai tertutup karpet merah berbunga. Dipan-dipan ditutup bed kafer dan selimut tebal warna merah juga.
Kami masih kesal. Duduk di pinggir dipan masih membicarakan ketua kelompok yang ternyata egois. Dia sendiri yang ingin menempati kamar ideal di sudut sedang teman yang lain tidak ada yang mempersoalkan di mana mereka tinggal.
Teman tadi masih menggerutu dan masih menangis ketika tiba-tiba ketua kelompok, laki-laki 35 tahun itu muncul di kamar melihat kami.
“Maaf, Ibu-ibu” Katanya berdiri di tengah kamar.Melihat siapa yang datang,teman itu bangkit;
“ Saya ini orang tua, saya sudah capek kok Pak Iip tiba-tiba mengusir saya” Kata teman tadi kepada ketua kelompok itu.
“ Ya biar Ibu-ibu berkumpul.” Jawabnya ragu-ragu dan mungkin malu.
“ Masih ada beberapa yang tidak berkumpul juga . Saya nelongso bener.” Teman tadi menangis lagi.
“ Bapak harus tahu bahwa kami tidak ikhlas dengan penggusuran ini .” Aku menambahkan. Kemarahan ini tidak bisa disembunyikan lagi. Laki-laki itu Cuma minta maaf lagi lalu permisi pergi.
Akhirnya kami harus menenangkan perasaan. Setelah itu mandi air panas dan bersiap-siap pergi ke masjid Nabawi yang menjadi tujuan kami.
Ternyata udara di kota ini sangat dingin. Badanku menggigil sekalipun berada di dalam kamar. Tengah malam itu kami makan nasi katering dalam kemasan kotak foam. Nasi dan sedikit sayur buncis serta sepotong ayam manis. Setelah makan menjelang dini hari itu kami bergegas ke masjid Nabawi .
Ketua kelompok memimpin kami dini hari itu. Udara di luar sungguh sangat dingin dan sedikit berembun. Kami berjalan cepat untuk mengusir dingin. Di trotoar yang mengapit jalan raya banyak pejalan kaki yang juga berjalan terburu-buru. Sekelompok orang kulit hitam dengan langkah-langkah panjangnya menerobos kami. Mereka tidak peduli dan terus berjalan sambil bercakap-cakap. warna pakaian mereka tampak menyolok walau pada malam hari dengan bunga-bunga besar dan modelnya seperti daster panjang dan besar. Sedang yang perempuan dengan model rok berploi sepanjang bawah betis.Penutup kepala seperti topi model sorban. Beberapa mereka tidak menggunakan alas kaki.
Sepuluh menit meningalkan hotel Azzahra kami sampai di jalan yang diapit pertokoan yang sudah tutup. Hanya ada satu dua toko makanan dan kurma yang buka. Toko itu menjual roti fresh serta minuman dan kopi panas. Letaknya persis di sudut ujung pertokoan. Sisi depannya yang menghadap ke areal yang sangat luas terbuka. Itulah halaman masjid Nabawi.
Sungguh fantastis, bangunan masjid yang sangat megah dan indah berdiri di tengah-tengah area yang sangat luas. Halaman masjid dilengkapi dengan lampu-lampu klasik bertiang, berderet-deret memenuhi seluruh halaman yang berlantai batu granit. Sekalipun begitu cahaya lampu-lampu itu tidak mampu menerangi areal yang begitu luas sehingga sedikit remang.
Di bagian depan masjid dari arah Hotel Azzahra terdapat sebuah bangunan kecil dengan atap kubah warna emas berdinding ornamen yang didominasi warna hijau. Berikutnya kami tahu bahwa bangunan itu merupakan bangunan asli masjid Nabawi yang dikenal dengan Arraudah.Artinya kebun,yaitu taman tempat Nabi Muhammad saw disemayamkan.
Subuh masih dua jam lagi. Tetapi tempat itu sudah mulai didatangi jamaah. Kami masuk melalui pintu sebelah kanan masjid. Melewati pintu pertama yaitu pintu Abu Bakar, disusul pintu Umar Bin Khattab, Pintu Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Talib. Pintu keempat,pintu masuk jamaah perempuan. Pintu itu dijaga oleh dua penjaga perempuan bercadar. Pakaian dan kerudung hitam menutupi seluruh tubuhnya. Kami berdesakan memasuki masjid setelah kami diperiksa mulai dari barang bawaan,t as dan dompet. Hp dan kamera tidak diperbolehkan.
Menginjak lantai marmer dinginnya luar biasa. Kami masih mendapatkan tempat berkarpet di antara pilar-pilar masjid yang besar dan kokoh. Tak bosan-bosannya aku mengamati seluruh ruangan masjid nabawi yang indah. Lampu-lampu kristal berbentuk sangkar burung menggantung melingkar di setiap penjuru masjid dengan cahaya kuning redup di antara cahaya lampu-lampu penerangan utama yang putih terang cahayanya. Pilar-pilar yang menyangga atap bangunan yang kokoh dan besar dihiasi dengan ornamen dan relief berwarna emas di ujung atas dan bagian bawahnya di pokok-pokok pilar itu digunakan sebagai ventilasi pendingin udara.
Azan subuh sudah terdengar, segera kami bersiap setelah mengawali dengan solat Takhiyatul Masjid dan solat sunah sebelum subuh. Nada suara azan itu sedikit aneh di telingaku. Temponya pendek-pendek seolah tanpa apresiasi.Sangat berbeda dengan azan di Masjidil Kharam.Terlebih lagi jauh berbeda dengan suara azan di mesjid Bakhutmah. Azan di Mesjid Bakhutmah tak ada yang menandingi kemerduannya. Belum ada yang menandingi dalam pendengaran kami selama ini. Sungguh suara azan yang bisa membuat aku menitikkan airmata keharuan. Dan bisa membuat kami terus membicarakan suara azan dekat pemondokan kami itu.
Selesai subuh kami pulang.
Cuaca berkabut, dingin udara pagi seperti menyusup sampai ke tulang sumsum. Hotel Azzahra menyambut kami dengan sedikit kehangatan. Di lemari pendingin tersedia susu, teh dan kopi instan siap seduh. Kami tinggal merebus air dan menyeduhnya di dapur itu. Kami membuat teh bersama-sama dengan suasana gembira penuh rasa syukur akan kehangatan pagi itu.
Ini pagi pertama kami di hotel Azzahra. Di Kamar, nasi kotak dan sebuah apel serta minuman kemasan sudah tersedia. Kami makan bersama. Tetapi seperti hari-hari yang telah lewat aku tidak punya nafsu makan.Karena itu aku sarapan dengan sangat memaksa. Makanku hampir selalu tersisa. Kadang-kadang tidak kumakan sama sekali dan kuberikan pada teman. Aku memandangi luar jendela . Kabut begitu tebal memasuki ventilasi dan memberi dinginnya ke seluruh kamar seluas enam kali lima meter persegi ini.
Di kamar ini sesaat hanya sepi ketika teman-teman sekamar keluar untuk belanja oleh-oleh. Aku tenggelam dalam pikiranku yang selalu diisi oleh kesedihan dan kemarahan kepada suamiku. Aku menangis lagi. Menyesali mengapa aku memilih dia menjadi suami. Makin lama hidup bersamanya makin banyak sifat menyimpangnya yang muncul . Ini tidak pernah kuduga sebelumnya. Sebenarnya sejak mengenal dia duapuluh sembilan tahun lalu aku sudah mengetahui ada tanda-tanda yang menunjukkan dia bukan laki-laki yang setia dan punya rasa tanggungjawab. Tetapi aku berusaha memahami itu sebagai kekurangan biasa yang akan bisa kututupi dengan apa yang bisa kulakukan. Namun ternyata hal itu tidak mudah. Dan perkawinanku menjadi permulaan aku memasuki kehidupan yang berat .
Beban hidup mulai kurasakan. Aku meninggalkan kemerdekaanku untuk bisa menikmati hidup dengan cinta dan kasih sayang.Tetapi aku justru mulai meninggalkannya karena terbebani dengan tanggung jawab dan kewajiban yang melampaui apa yang seharusnya kujalankan. Aku bekerja secara fisik dan membelanjai hidup kami.Mengurus anak-anak dan hampir semua urusan lain.
Semua itu kurasakan sebagai beban karena aku tidak pernah mendapatkan perhatian atas semua yang kulakukan. Sebaliknya aku selalu menjadi istri yang tidak sempurna di matanya. Aku sering dihina dan direndahkan hanya karena hal-hal yang sepele. Apabila aku dalam kesulitan dan kesalahan sepertinya dia puas untuk bisa mensyukuri kesalahanku. Aku kehilangan cinta yang ingin kuraih, sekalipun sebenarnya aku belum pernah mencintai dia.
Rasanya belum ada yang bisa membuat aku bisa menyintai dia.
Perkawinanku dulu memang belum didasari rasa cinta. Tapi aku berani memilihnya dengan pertimbangan aku sudah waktunya menikah, umurku duapuluh enam tahun. Dia sudah bekerja dan dari keluarga baik-baik. Aku berpikir seperti yang dikatakan orang bahwa cinta bisa tumbuh dalam perkawinan. Aku dikenalkan oleh seorang teman yang mengatakan bahwa dia sedang mencari seorang istri. Atas dasar itulah aku berani memutuskan menikah. Sungguh aku tidak menyangka sekarang apabila ia mengkhianatiku dan anak-anak dia selalu mengatakan bahwa aku dulu menjebaknya. Dia lupa bahwa aku pernah pergi darinya dan akan melupakannya, tiba-tiba dia mengirim telegram bahwa keluarganya akan melamar aku. Dia tidak pernah tahu sebenarnya saat itu aku sedang dalam status perjodohan dengan orang lain, kerabatku , orang yang lebih baik darinya dari pendidikan, pekerjaan dan kesiapan.
Apa yang bisa aku katakan dan kuperbuat sekarang. Tidak ada lain hanya penyesalan dan sakit yang terlalu sakit. Kecewa yang terlalu kecewa.Aku hanya bisa menahan semuanya menjadi kesedihan yang mendalam dan terkadang aku tidak bisa menahan perasaan lalu aku mengumpat dalam hati :”Tuhan tunjukkan kebenaran dan keadilan padanya.Berilah dia pelajaran atau bahkan hukumlah dia atas apa yang telah ia lakukan padaku “
Aku mengakhiri lamunanku dan menghapus air mataku yang berderai. Kamar hotel ini hanya bisu menyaksikanku menangis.
Sekarang aku menyadari bahwa merubah nasib tidak bisa kulakukan lagi. Hidupku tinggal kurang dari setengah yang sudah kujalani. Aku sudah bisa menerima bahwa ini adalah takdir dan dia adalah jodohku.
Siangnya kami berenam berangkat ke masjid Nabawi tanpa ketua kelompok. Kabarnya ketua kelompok sakit. Selesai sembahyang dzuhur teman-teman kembali ke Azzahra dan aku memutuskan untuk tinggal sendiri di Nabawi sampai sembahyang isya nanti.
Sambil menunggu saat-saat solat berjamaah aku mengikuti jamaah Indonesia yang ada di sana berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, yang disebut dengan Arraudah itu. Melalui antrean selama hampir dua jam baru kami bisa memasuki Arraudah. Tempat itu berada di bagian yang menyatu dengan masjid Nabawi. Menyerupai sebuah bangunan rumah kecil di dalam masjid. Pintunya yang tertutup rapat dari kayu berukir motif daun-daunan dan bunga warna hijau dan kuning keemasan.
Makam itu tidak tampak hanya bangunan indah dengan berbagai hiasan ornamen dari kayu dan terali serta tiang-tiang yang bernilai seni tinggi yang bisa kami lihat dan tumpukan kitab suci AlQuran yang tertata rapi diberbagai tempat. Kami solat sunah di sana sebentar dan berdoa di bawah pengawasan ketat lasykar perempuan yang ada di sana. Salah satunya berkebangsaan Indonesia.
Waktu kami di sana sangat terbatas dan kami harus segera keluar melalui pintu sebelah kiri masjid. Lalu kembali ke dalam masjid untuk mengikuti solat waktu berikutnya.
Sampai usai isya aku tidak bertemu dengan seorang teman pun dari Azzahra. Hari sudah malam lalu kuputuskan minta bantuan ke KBRI untuk mengantarku ke hotel Azzahra. Jam sembilan aku diantar sukarelawan, mahasiswa Indonesia yang belajar di Arab Saudi dengan mobil ,bersama sepasang suami istri dan dua orang ibu. Malam itu aku bisa tidur walau sering bangun karena kedinginan.
Hari-hari berikutnya kami mencari teman sendiri untuk pergi, ketua kelompok masih sakit di kamar ideal itu.
Suatu pagi setelah solat subuh aku dan seorang teman tidak langsung kembali ke hotel. Kami mampir ke sebuah toko kecil atau mungkin hanya warung yang menyiapkan roti, teh dan kopi panas.
Seorang pembuat roti sedang membalik-balik roti berbentuk lebar itu di sebuah wajan yang datar. Sudah ada dua orang laki-laki dan sepasang suami istri di sana menghadapi teh mereka sambil ngobrol. Kami bergabung di meja dekat mereka. Meja itu terletak di halaman warung di pinggir jalan. Mereka senang melihat kami. Mungkin mereka berpikir kami perempuan pemberani atau perempuan aneh. Para pekerja di warung itu juga menaruh perhatian pada kami. Semua menyapa dan berbasa-basi dengan pertanyaan berbahasa Arab. Saya sedikit mengerti dan menjawab dengan ramah dan membuat mereka tampak senang.
“ Good morning ! From Indonesia?” Tanya seorang pengunjung dengan berbahasa Inggris.
“ Yah. We are from Indonesia” jawab kami hampir bersamaan.
“ I’m Iran.” dan ” Indonesian good..” Kata lelaki dengan wajah berbulu itu sambil mengangkat kedua jempolnya. Kemudian mereka berbicara sedikit tentang jamaah haji Indonesia dengan bahasa Inggris. Kami bercakap-cakap dengan bahasa Inggris yang asal-asalan sambil menunggu pesanan datang. Selembar roti panggang dan dua gelas teh panas.
Sungguh pagi itu menjadi kenangan hingga saat ini. Kami menghirup teh susu hangat dengan regukan yang paling nikmat. Dan menghabiskan sepotong roti panas berdua. Kami enggan meninggalkan suasana pagi yang istimewa itu. Bercakap-cakap dengan lain bangsa di tempat yang jauh dari negeri kami.
Jalanan mulai ramai. Setelah cukup puas kami meninggalkan tempat itu dan bertanya pada pelayan toko dengan bahasa gak karuan “ Where is the mosque near from here?
“ O..masjid. yes “ jawab pelayan itu sambil menunjuk jalan lurus menjauhi hotel Azzahra ke kanan.
Kami ke sana. Masjid itu tidak jauh, kurang lebih hanya tigaratus meter dari hotel.Kami mengambil air wudlu di kran yang tersedia di tepi jalan depan masjid itu. Airnya sangat dingin melebihi air es. Lalu kami berdua sembahyang sunah di sana berdoa di sana memohon apa saja yang kami inginkan.Terasa betapa nikmatnya berada di tempat ini,di kota ini dan hari ini. Aku telah melupakan hari-hari kelam di tanah air.
Hari terakhir di Madinah tiba. Jam empat pagi kami sudah bersiap ke Masjid Nabawi. Kali ini ketua kelompok sudah bisa pergi ke masjid. Rasanya sangat berat meninggalkan tempat ini.Saya merasa berada di tempat yang paling damai berdekatan dengan Rasulullah. Aku menangis berkepanjangan di Masjid Nabawi. Air mataku tak bisa kubendung sedikitpun. Aku merasa akan kehilangan cinta.Cintaku pada Allah dan Rasulullah.
Kami berdua masih betah berlama-lama berada di dalam masjid selesai sembahyang subuh. Memandangi semua benda yang ada di dalamnya. Menunggu saat-saat bagian atap masjid yang menjadi pengatur sirkulasi udara bergeser perlahan-lahan dan membuka. Tampak di langit mega yang berjalan melintas lalu hilang. Tinggal langit biru yang kosong. Kami mau menikmati pemandangan di dalam masjid ini untuk yang terakhir kali.
Aku masih ingat pagi itu burung-burung merpati memasuki masjid dekat kami duduk membaca AlQuran. Burung-burung itu hinggap di karpet berjalan-jalan sambil menggerak-gerakkan kepalanya lincah sekali. Aku terpesona dan ingin mengabarkan itu pada suamiku namun itu berat kulakukan. Karena aku tahu suamiku sedang apa di tanah air.Aku hanya menarik nafas menahan tangis.Dan selanjutnya memang menangis.Temanku sepertinya turut bersedih dan dia pun menangis. Mungkin ia sedih akan meninggalkan tempat ini sebentar lagi.
Selesai sembahyang sunah aku dan sahabatku berjalan-jalan seputar masjid Nabawi. Melihat tempat-tempat bersejarah seperti rumah sahabat nabi Ali bin Abi Talib, makam para sahabat dan makam para jamaah haji yang meninggal di Madinah. Serta melihat bangunan-bangunan tua di dekat Masjid Nabawi. Setelah itu kami membeli sepotong baju untuk oleh-oleh ibu kami, baju panjang warna hitam berhias bordiran warna emas. Temanku juga membeli beberapa buah cincin emas untuk keponakan dan saudara-saudaranya. Kami berbelanja murah karena temanku pandai menawar dengan bahasa Inggris.
Di toko perhiasan aku menunggu temanku memilih dan menawar cincin emas, sambil duduk menikmati kesibukan pertokoan di seberang masjid Nabawi. Seorang pedagang mengerling padaku sambil tersenyum.Aku tidak sempat membalasnya karena aku masih berpikir apa yang membuat dia tersenyum, Apakah karena aku mengunakan tasbih kayu zaitun sebagai kalung ataukah karena mataku yang masih sedikit sembab aku tidak tahu. Tetapi pandangan mata Arabian itu menyadarkanku bahwa aku sedang berada di Madinah bukan di Indonesia.
Aku igin secepatnya kembali ke hotel untuk bersiap-siap. Setelah semua barang bawaan ditimbang kami membawanya ke lift untuk diturunkan ke lantai bawah. Di bawah petugas pengangkut barang sudah siap menaikkan koper-koper dan tas ke bagasi bus yang akan mengangkut kami ke Bandara.
Hari itu terasa melelahkan. Berat badanku turun drastis dan tenagaku seperti sudah habis. Aku mimisan. Tak terasa darah itu menetes dari hidung membuat kerudung putihku kena bercak-bercak darah. Sementara itu batuk yang menyerang sebagian besar jamaah haji juga masih kuderita. Yah Hotel Azzahra sesaat lagi kami tinggalkan dengan banyak kenangan. Jendela-jendelanya setiap tahun akan menjadi saksi bisu semua yang terjadi di dalamnya.
Jam empat sore kami meninggalkan hotel Azzahra. Aku memandangnya terus dari dalam bus. Hotel tua berbentuk kotak bujur sangkar berdekatan dengan rumah-rumah kotak tidak jauh dari kebun kurma.
Kami melambaikan tangan kepada orang-orang yang ada di sekitar Azzahra. Tak peduli mereka siapa. Beberapa jamaah haji dari Timur tengah atau mungkin Eropa atau Afrika menyambut lambaian tangan kami. Dan sesaat sebelum bus belok ke jalan raya aku melambaikan tanganku ke Azzahra Flower. ”Azzahra...Azzahra kami akan merindukanmu selamanya.” Kataku.


Tabanan, akhir Maret 2010

Di Depan Pintu King Abdul Aziz

Di depan Pintu King Abdul Aziz

Cahaya matahari tinggal menyisakan bayangan abu-abu yang mengurung gugusan gedung bertingkat di sekeliling Masjidil Kharam. Lampu-lampu gemerlapan menerobos pilar-pilar keluar melewati seribu pintu menghadiahkan mahakarya keindahan yang mengagumkan. Sementara menara-menara bercahaya yang mengapit atap- atap pintu utama seakan mengucapkan selamat malam dengan senyum yang ramah. Di relung-relung menara dan atap-atap bangunan itu burung merpati masih sibuk keluar masuk lubang seperti mengiringi kesibukan di sekelilingnya yang tak pernah berhenti.Lalu lalang kumpulan manusia yang berdesakan menuju dan meninggalkan tempat suci itu.
Selepas magrib kesibukan berkurang. Aku dan seorang teman beristirahat melepaskan penat.Kami berdua duduk bersila di halaman Masjidil Kharam menghadap ke arah bangunan itu sambil mengobrol menunggu saatnya solat isya.Dua orang wanita bergabung dengan kami.Mereka jemaah haji Indonesia juga dari Jawa Tengah.Lalu kami terlibat dengan obrolan tentang apa saja yang sudah kami lewati hari ini.
“ Bu, Ibu harus segera menyelesaikan persoalan Ibu dengan Pak yani mumpung masih di sini.Jangan membawa persoalan sampai kembali ke Tanah Air” Aku membuka pembicaraan , mengerti apa yang sedang dipikirkan temanku.
“ Biar saja, dia yang berdosa padaku. Memang dia suka begitu.Suka marah-marah” jawab temanku sambil menggoyang badannya seperti mau mengibaskan persoalannya.
“ Tapi Pak Yani sudah memukul Ibu. Mempermalukan Ibu di hadapan orang. Ibu harus meminta dia untuk minta maaf atas kelakuannya.“ Kataku bersungguh-sungguh.
“ Mana bisa begitu, biar saja” jawabnya sekali lagi dengan nada bersungguh-sungguh juga.
Aku menjadi lebih serius ingin membicarakannya, lalu kataku lagi.
“ Perjalanan kita ini sebuah perjalanan ibadah yang harus didasari dengan rasa ikhlas dan sabar.Kita harus bisa melepaskan semua persoalan yang tidak menyenangkan dengan segera. Mengingatkan orang yang telah melakukan kesalahan di tanah suci ini adalah sebuah keharusan. Pak Yani salah telah memukul istrinya dan Ibu harus mengigatkannya agar dia menyadari perbuatannya sebelum pulang.”
Temanku masih diam memandang ke depan tanpa melihatku. Dua perempuan yang tadi mendengar percakapan kami diam-diam saling berpandangan seperti memberi isyarat. Ketika mereka tahu aku memperhatikannya, mereka tersenyum. Lalu salah seorang berkata ”Teman saya ini barusan juga bertengkar dengan suaminya.Dipukul juga”
“ O ya! Kenapa?” Aku bertanya memandang seorang yang dimaksud.
“ Bertengkar soal memilih arah jalan yang akan kami lewati.” Jawab perempuan itu tersenyum. Tapi raut wajahnya menyembunyikan kegelisahan. Percakapan kami menjadi lebih mengasyikkan diselingi senyum dan kadang tertawa juga , membicarakan para suami yang suka berlaku konyol terhadap istrinya.
Angin malam mulai berhembus. Menara hotel Hilton terang benderang menerangi kamar-kamar yang menghadap Masjidil Kharam.Hotel itu berhadapan dengan pintu King Abdul Aziz tempat kami duduk. Lantai halaman masjid mulai dingin.
Duduk tak jauh dari kami sekelompok Orang Turki sedang santap malam. Mereka menggelar makanan mereka. Roti panjang dengan kebab, daging cincang rebus dan lemak bercampur daun bawang plus irisan bawang bombai. Akrab sekali mereka makan sambil bercakap-cakap. Pakaian mereka sedikit lusuh. Empat laki-laki setengah umur dengan wajah tajam berjenggot lebat dan empat wanita berbadan gemuk. Hidung mereka bagus, mancung dengan kombinasi bibir tipis . Dan kelopak mata yang indah dengan bola mata besar. Sangat beda dengan orang Indonesia.
Kami tertarik sejenak memandang mereka. Karena mereka berbicara saling bersahutan . Tetapi itu tidak berlangsung lama kami meneruskan perbincangan dengan topik yang terus berganti. Sesekali di antara kami berdiri atau berjalan di sekitar tempat itu untuk melihat-lihat. Petugas kebersihan membuat pagar tali di area yang akan dipel. Kami pun bergeser ketika area kami akan dibersihkan.
Sungguh malam yang mengesankan.Malam kemerdekaan kami dari para suami yang egois. Aku jadi teringat suamiku di Tanah Air. Beberapa kali ia memukulku apabila aku protes atas kelakuannya yang buruk. Aku tidak hanya disakiti oleh banyak perselingkuhan yang dilakukannya saja, melainkan aku juga sering dicekam ketakutan setiap aku membicarakan itu. Ancaman fisik dan ancaman mental dengan kata-kata menyakitkan adalah makananku selama lebih dari lima tahun. Tepatnya sejak ia mengenal sms-an dalam program Chatt And Date yang diiklankan di televisi itu. Ia seperti merendahkanku dan membanggakan perempuan-perempuan setannya.
Perlahan air mataku merembes keluar.Detik ini suamiku tentu makin menggila tanpa ada orang lain di dekatnya. Sebenarnya kepergianku kali ini juga menjadi bagian dari keinginan meninggalkannya. Menghindar dari setan-setan yang terus menari di sekitar rumahku.
Aku ingin mengadu kepada Allah tentang semua persoalan di dalam rumah tanggaku.Terutama tentang kelakuan suamiku. Selama di Tanah suci setiap saat aku berdoa,maka sebagian besar doaku untuk dia,suamiku. Delapan puluh persen. Ya sebesar itu doa kuberikan untuk dia, Sisanya untuk anak-anakku, orang tuaku dan kerabatku. Dan hanya kurang dari satu persen saja aku berdoa untuk diriku. Karena hanya satu saja yang kuminta kepada Allah yaitu agar aku bisa melupakan semua bayangan buruk yang nyaris melumpuhkan jiwaku.
Langit semakin gelap. Cahaya bintang tenggelam oleh terangnya lampu kuning berkilauan di mana-mana. Dari kejauhan cahaya lampu berwarna putih gemerlapan. Suara alat pendingin udara dan mesin-mesin pekerja di semua bangunan terus memenuhi udara. alat itu tidak pernah berhenti bekerja.
Kami sepakat meninggalkan tempat itu ketika jamaah haji berdatangan lagi untuk memenuhi panggilan solat Isya. Kami kembali memasuki Masjidil Kharam melalui pintu King Abdul Aziz. Melewati pilar-pilar masjid yang indah kami menuruni anak-anak tangga melengkung sebagian lingkaran yang mengelilingi halamah Kabah.
Tidak sampai sepuluh menit setelah azan seluruh penjuru mesjid sudah dipenuhi jamaah. Dan jamaah terus bertambah hingga kami berdesakan saat sembahyang. Seorang laki-laki berpakaian rapi kira-kira berusia 40 tahun,sepertinya berkebangsaan Iran menyusup di sampingku. Tetapi ia memintaku pindah karena kiri kananku laki-laki. Pindah? Mustahil aku pindah dalam situasi seperti itu. Jadi aku diam saja memandang Kabah,bangun kubus berselimut kain hitam. Kuacuhkan saja. Dia berbicara dengan bahasa Arab kepada orang di sebelahnya. Laki-laki muda Afrika. Dan sebentar kemudian pemuda bergamis kekuningan itu berdiri lalu mereka bertukar tempat. Pemuda itu sekarang di sampingku.
Laki-laki Iran itu bisa tersenyum lega sekarang setelah mengomel dan bersungut-sungut karena aku tidak mau pindah. Sambil melihatku dia berkata dengan menggerakkan tangan : “ Kharam” . Aku mengerti maksudnya bahwa perempuan tidak boleh bersebelahan dengan laki-laki. Tetapi aku tidak suka sikapnya.Ia laki-laki egois.
Seusai sembahyang Isya kami pulang, keluar melalui pintu yang sama, pintu King Abdul Aziz. Masih berdesakan kami meninggalkan Masjidil Kharam,melalui lorong pertokoan tepat di depannya. Di kawasan Masfalla kami berpisah dengan dua teman baru tadi. Dan menyusuri jalanan sibuk dengan berjalan kaki sepanjang satu kilometer menuju Bakhutmah.
Rasanya capek sekali badanku.Nafsu makanku tidak ada dan asupan kurang gizi yang membuatnya begitu. Tidak seimbang dengan energi yang harus kukeluarkan.
Di depan pintu hotel, Pak Yani,suami temanku sudah menunggu.Dengan pakaian ikhramnya, kain putih yang melilit badan dan pundak dengan ikat pinggang besar warna hijau ia berdiri di tangga.Lelaki Madura tinggi besar itu menatapku tajam dan tanpa basa basi bertanya padaku : “ Mana istriku? “
Aku berhenti sebentar sambil memiringkan badan menunjuk sebuah toko diseberang hotel. “ Masih belanja di toko itu.” Jawabku sambil meninggalkannya.
Keesokan harinya temanku itu tidak lagi meminta aku menemaninya ke Masjidil Kharam karena suaminya sudah menggandeng tangannya.
Aku tersenyum membayangkannya saat Pak Yani tiba-tiba tanpa suara masuk ke tenda perempuan di Mina kemarin dan memukul keras kepala istrinya hanya karena istrinya tidak mendengar panggilannya.
Di depan pintu King Abdul Aziz aku sendiri memandangi keindahan senja yang tak mungkin dapat kulupakan. Aku manusia merdeka sekarang dan tak lama lagi aku harus kembali ke Tanah Air tercinta dan siap memasuki lagi duniaku yang kelam dalam cengkeraman penganiayaan batin oleh lelaki jahat di rumahku. Aku harus kuat.
Kini, jika aku rindu kemerdekaanku, aku membuka situs Google Earth dan mengamati titik-titik kecil bertuliskan Al-kharam, Mecca, Masfella dan Bakhutmah.

Tabanan, Februari 2009

sebuah taman di Bakhutmah

SEBUAH TAMAN DI BAKHUTMAH

Suatu hari nanti aku akan kembali ke taman itu.Taman segitiga yang terletak di titik pertemuan tiga jalur jalan raya di kawasan Bakhutmah kota Mekah. Pemandangan senja itu menjadi begitu menawan.sekali pun tidak banyak keindahan yang bisa dilukiskan. Hanya belasan pohon kerdil berdaun kecil yang mengisi taman dan pohon-pohon kurma yang tampak kaku mengelilingi taman kecil itu.

Aku bersandar di pagar tua yang terbuat dari terali besi setinggi setengah badan, memandangi hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di jalan raya Bakhutmah. Airmataku berderai tiada henti. Ada kesedihan yang teramat dalam , yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata. Beberapa pasangan berkebangsaan Turki melihatku sepintas , lalu mereka kembali menikmati senja memerah di antara ramainya kesibukan taman itu.

Di taman itu aku terus menerus mengenang Tanah Air. Segala peristiwa yang mendera rumah tanggaku di Tanah Air tak dapat kulupakan walau sesaat saja. Namun Tanah Airku telah melupakanku, membiarkan aku dipagut kesunyian yang teramat panjang.Tak satu pun kabar dikirimkan suamiku. Sedangkan dia telah membekaliku dengan beban berat . Memaksaku membawanya sampai pada saat itu. Ia tidak pernah memikirkan apakah aku akan kuat memikulnya sekalipun ia sudah meyakinkanku bahwa aku harus kuat.

Senja itu Langit utara memerah memberi sapuan jingga lereng-lereng perbukitan , Bukit batu itu bisu terbengong terus menerus memandangi aku . Seakan -akan ingin menyayati dadaku dan mengeluarkan gumpalan kata-kata, keluh kesah dan sumpah serapah dari dalamnya.

Aku tertunduk berusaha sembunyikan dukaku ketika segerombolan jemaah haji Indonesa memasuki taman. Aku kenal mereka, penghuni pemondokan haji yang sama dengan pemondokanku. Aku segera menyelinap di antara orang-orang yang duduk-duduk tidak jauh dari tempatku, menghindar dari mereka. Ada perasaan takut mereka akan tahu aku sedang menangis berkepanjangan.

Airmataku tak pernah berhenti mengalir sejak aku meninggalkan rumah. Di taman Bakhutmah ini aku membiarkan galau perasaanku menebar sesukanya. Karena kamar pemondokan menjadi belenggu yang membenamkan aku dalam lembah kengerian membayangkan semua kisah kelam di rumahku. Hari-hari yang diisi dengan kehidupan rumah tanggaku yang aneh. Suamiku tak sedikit pun mau peduli perasaanku, siang malamnya diisi dengan kata-kata cumbuan terhadap banyak perempuan lewat sms. H ari-hari sempatnya ia gunakan untuk pertemuan dengan mereka. Keberadaanku sebagai istrinya tak menjadi halangan untuk melakukannya. Melakukan apapun yang ia dan perempuan -perempuan itu kehendaki. Sedikit-demi sedikit ia membuat jarak dengan keluarganya. Ia bagai orang asing yang berkuasa atas segala maunya. Anak-anakku menderita.

Rasa letih hari itu adalah manifestasi dari keletihan pikiranku memikirkan semua itu. Berbagai persoalan rumah tanggaku dan ibadahku menjadi dua mata ujian yang sangat berbeda bobotnya.

Angin datang menghembus ranting-ranting berdaun kecil di sudut-sudut Jalanan Bakhutmah.Angin juga menghempaskan debu-debu di taman itu , yang kemudian beterbangan mengotori semua yang ada di sana. Seorang pedagang pakaian berkulit gelap dengan jubah menutupi badannya yang besar sedikit pun tak terganggu dengan angin itu. Dagangannya yang terhampar di rerumputan dibiarkan dihinggapi debu.

Tidak jauh darinya seorang anak Afrika terlentang di atas sebilah papan beroda. Anak itu cacat. Kedua tanggannya terpotong sampai siku dan kedua kakinya hanya sampai setengah paha. Aku tersentak ,tak ada kesedihan di wajahnya. Ada tas pinggang melilit badannya, penuh dengan uang pemberian para dermawan . Pemandangan itu memberi sedikit sentuhan perasaanku. Bahwa hidup ini memiliki banyak persoalan. Persoalan Anak Afrika yang cacat sepertinya telah diselesaikannya hari ini dan mungkin juga seterusnya.

Empat orang pria Turki mengeluarkan uang masing-masing dua real dan memasukkannya ke dalam tas pinggang anak itu. Sejak tadi aku sangat ingin melakukannya. Akhirnya aku mengambil satu real dan memasukannya ke dalam tas itu. Lalu aku menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan lagi lamunanku.

Begitu banyak kepahitan dalam hidup ini.Tiap helaan nafas terasa menyengat dan setiap regukan rasa seperti menusuk dada. Allahu Rabbi, panggilan ini tak henti kuucapkan setiap kali aku digempur kenangan buruk tentang Tanah Air. Wajah suamiku menjadi momok yang menakutiku. Wajah dengan topeng kepalsuan dan pengkhianatan itu memburuku dengan taring-taring yang terus bertumbuh untuk menyakitiku. Dan aku dipaksa pasrah menerima perlakuannya. Ia seperti setan atau iblis dan kemunafikan. Ia melepas kepergianku dengan sebuah sandiwara.Dia mengkhianatiku setelah kepergianku.

Persoalanku tidak pernah ada akhirnya. Duapuluh delapan tahun berumahtangga belum cukup untuk mengetahui akar masalah itu. Yang kutahu aku terus disakiti. Dengan pongahnya suamiku berkata, yang salah adalah terjadinya perkawinan ini. Namun tidak pernah menjelaskan apa yang salah dalam perkawinan ini. Ketiga anakku telah meninggalkan kami dengan kehidupan masing-masing. Serasa aku hanya sendiri menjalani hidup ini.

Senja itu taman Bakhutmah menjadi pelabuhan sementara segala perasaanku. Dan ketika suara azan magrib menyentakkan kesadaranku, kutinggalkan taman untuk memenuhi panggilan solat.

lampu-lampu jalan dan pertokoan jalan-jalan Bakhutmah mulai menyala berpacu dengan sisa-sisa cahaya matahari senja yang redup di puncak -puncak perbukitan. Ratusan ekor burung merpati menjelajah gedung-gedung bertingkat, hinggap di sudut-sudut bangunan, dan tingkap-tingkap jendela yang beku.

Aku berjanji suatu hari nanti aku akan kembali menghabiskan senja di taman Bakhutmah. Aku ingin kembali bercerita padanya tentang peristiwa yang terjadi kini.Tentang mimpi buruk yang pernah terjadi pada suatu malam di Bakhutmah . Ya taman Bakhutmah. Tabanan, 22 Desember 2009

Kamis, 08 April 2010

Sore Ini

Sore ini aku sedang menunggu saat sepi sendiri karena keponakanku akan balik lagi ke jawa.Artinya aku harus melewati detik, menit dan jam seorang diri. Terus malamnya aku jadi sulit tidur menunggu waktu agar cepat pagi. Dan aku akan menghasilkan sebuah tulisan baru. Yang pasti akan ada air mata. Anak-anakku jauh.Sejak kecil mereka gembira dalam sentuhan tanganku dan aku merasa mereka akan selamanya di sana.Dalam kegembiraan bersama sampai selamanya. Tetapi kini saatnya sudah tiba.
Mereka harus memilih jalan sendiri dan berani melepas genggaman tanganku untuk memulai kehidupan baru di luar sana.
Mereka sudah menemukan jalan itu dan mulai melangkahinya menuju harapan yang tidak akan ada akhirnya. Mereka harus melangkah dan melangkah sampai kapan pun. Aku dulu salah mengira bahwa menjalani hidup itu akan berakhir sampai tujuan tercapai,ternyata tidak. Selama kita bernafas selalu ada jalan baru untuk tujuan baru yang mesti kita lalui. Anak-anakku harus siap untuk perjalanan panjang itu. Semoga Tuhan melindungi perjalanan mereka selamanya.Amin

Selasa, 06 April 2010

Masih ingatkah kamu

Masih ingatkah kamu

Masih ingatkah kamu saat aku tulis pesan singkat yang berbunyi ‘ ... kamu adalah air yang mengaliri sel-sel di seluruh tubuhku.?’ Dan kamu juga kuberondong dengan pesan-pesan singkat berikutnya?. Dan tahukah kamu mengapa kukirim semua pesan itu?

Sore itu awal Maret 2010, perasaanku sangat galau. Setiap kali aku memasuki rumahku, kesepian sudah ada di sana, menjemputku sejak aku membuka pintu halaman, dan menyambutku saat aku memasukinya.Tahukah kamu bahwa ruang-ruang yang ada di sana menggumuli aku dengan jutaan kenangan yang teramat susah untuk dikatakan dan teramat berat untuk dirasakan.

Begitu besarnya pengaruh sisa-sisa pengalaman buruk itu menekan batinku. Kamar di seberang kamarku hampir tak pernah kumasuki setiap bulannya. Kamar itu menyimpan banyak cerita mengerikan buatku. Di kamar itu desah nafas, tawa dan ucapan silih berganti sayup-sayup antara timbul dan tenggelam dari suara telepon sering terdengar menjelang dinihari. Sekarang memang tidak ada lagi. Semua sudah berlalu namun sisa-sisa kenangan itu masih menghantui hari-hariku.

Rumahku,tidak lagi menjadi tempat terindah sekalipun kami telah menciptakan banyak keindahan, dengan halaman yang dipenuhi bunga dan kolam ikan yang tak pernah sepi dengan suara kecepaknya sepanjang malam. Dan Suara burung-burung liar yang bebas merdeka di puncak-puncak pepohonan. Juga angin yang terus berhembus sepanjang waktu.

Semuanya kini seperti tidak ada artinya lagi. Terlebih sore itu,langit mendung dan semua tampak muram.

Sepanjang hari itu aku merenungi semuanya. Kemarin aku juga melakukan hal yang sama. Kemarin dan kemarinnya lagi juga . Melihat pemandangan di luar jendela, langit yang berganti-ganti warna dan angin yang merasuki ruang kamarku melewati dedaunan yang begoyang-goyang..

Aku harus tetap servaif, jiwaku tak boleh mati oleh kebekuan. Aku harus menghidupkan perasaanku, jiwaku.Aku harus membaginya dengan orang lain. Ragaku seolah sudah tidak mampu menahan tekanan perasaan yang tak ada habisnya. Dan aku tak mau menangis sia-sia. Lalu aku menulis sms untuk kamu,hanya kamu , orang yang tak akan pernah kukenali, sehingga aku tidak perlu malu mencurahkan isi hatiku. Bahwa selalu ada kerinduan terhadap apa saja yang hanya menjadi impianku. Aku tahu kamu tidak akan membalasnya, tetapi aku menulis dan menulis terus. Suatu tindakan gila yang pasti membebani rasamu. Maafkan aku Arie...

Betapa sore berganti menjadi senjakala yang indah. Kamu merespon dengan menelpon aku, menemani sampai galauku mereda. Kamu mencumbui aku dengan bahasamu yang selalu nyaman kudengarkan. Memperlakukan aku sebagai seorang perempuan bahagia. Dan tahukah kamu sapaanmu itu membuat seluruh sel tubuhku menjadi segar dan bersemi lagi, gairah hidupku meluap-luap menerobos bentangan usiaku,mengikuti irama aliran kehidupan yang ada padamu. Tidak berlebihan jika aku membuat analog tentangmu dengan filosofi air dan kehidupan.

Gaya omongan kamu yang mengikuti Emile Zola, penulis Perancis beraliran naturalis itu, membuat aku sadar bahwa teori Behaviaur benar. Bahwa tindakan manusia pada dasarnya adalah dorongan libidoseksualitasnya. Sungguh aku merasa heran instink manusia yang satu itu bisa lebih kuat dari rasio. Kamu terjebak di dalamnya , bermain dalam putaran naluri tak terkendali. Tetapi aku bisa menerima itu. Kita manusia biasa.

Dan ketika aku kembali sendiri melewati senja demi senja dalam realitas kehidupan, kemurungan pelan-pelan menyergapku dari belakang. Aku tak tahu ada apa pada hari-hari depanku. Apakah hari-hariku sudah berakhir sebelum aku mati? Tiga perempat dari batang usiaku sudah terlewati. Seperempat di tengahnya dipenuhi oleh perjuangan yang panjang melawan determinisme,paksaan nasib. Jika sampai detik ini aku bisa bertahan hidup itu sebagai kemenanganku melawan keputusasaanku sendiri..

Seringkali aku berpikir mengapa aku tidak boleh memilih melanjutkan kehidupan atau sebaliknya.

Peristiwa terakhir Desember 09 menghempaskan aku ke titik nadir. Sebuah katastrof yang sudah kuteriaki dengan kalimat ‘Aku harus mati’. Aku tidak mau jadi pecundang melawan para iblis.

Rie, masih ingatkah kamu pada saat itu, malam. tiba-tiba kamu menelponku dengan nomor tak dikenal. Aku tidak menduga kamu masih ingat aku setelah lama tidak ada kabar. Aku masih kenal suaramu. Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku, aku tertawa dan tertawa kan? Dan kamu pasti tidak berpikir bahwa aku baru saja melewati kisah hidup yang amat tragis hari-hari itu. Kukatakan padamu : ‘ Saya kira kamu sudah hilang dan kita tak akan ketemu lagi’ Lalu kamu menyambut... dengan tersenyum barangkali,: ‘Yaa..hilang.’ Katamu dengan suara lamban dan berat.

Selanjutnya aku lupa apa saja yang kita bicarakan. Kamu merayu aku, mencumbu aku tapi aku membalas cumbuanmu dengan tertawa saja. Jiwaku sedang tidak sehat.

Kamu tidak tahu kan apa yang kulakukan siang dan malam saat itu? Aku merobek dan merobek kain menjadi serpihan-serpihan panjang. Lalu merobek dan merobeknya lagi menjadi utas-utas tali. Lalu merobek-robeknya lagi menjadi helai-helai benang panjang. Aku tidak bisa berhenti melakukannya. Dan aku menggulung-gulungnya mejadi gumpalan-gumpalan tali lalu aku melempar-lemparkanya ke seluruh penjuru kamar.

Rie, tahukah kamu beratnya aku mengikuti peredaran waktu saat itu. Detik, menit dan jam yang berjalan dibuntuti oleh kekecewakan dan amarah. Aku tidak sanggup mengikutinya. Lalu aku ambil penebah tempat tidur, kulemparkan keras-keras dan lidi-lidi itu berhamburan. Kupungut satu kupatahkan menjadi ruas-ruas kecil kugulung-gulung melingkar lalu kucampakkan ke lantai. Kuambil lagi satu,kupatahkan,kugulung dan kucampakkan. Itu terus dan terus kulakukan hingga aku puas dan jiwaku sedikit tenang.

Aku merasa sudah gila.Mengurung diri di antara sampah yang kuciptakan sendiri. Dan aku melihat sampah-sampah itu sebagai teman yang telah menolongku menghindar dari bayangan yang menghantui. Dan kamu muncul pada saat yang tepat. Mengalihkan perasaanku dari ketegangan dan memecahkan konsentrasi pikiranku dari kecewa dan amarah .

Ketahuilah Rie, tidak berlebihan jika pernah kukatakan : ’ Terkadang aku merenungi bahwa angin yang bertiup, berhembus dan menghempas lalu menghilang itu dirimu.’ Kehadiranmu lewat telpon malam itu seperti angin bertiup. Tak terduga. Dan berhembus memberi rasa sejuk. Juga menghempasku dengan sejuta cumbu dan setelah itu menghilang. Apapun maksudnya kehadiranmu detik itu sangat besar artinya. Aku bisa tertawa sesaat sekalipun aku tidak menikmatinya.

Arie, banyak sekali hikmah yang kudapatkan dari pertemanan kita. Aku tahu ini pertemanan yang unik. Tapi aku sangat menikmatinya. Bertumpuk-tumpuk catatan harianku sejak remajaku tak pernah menyampaikan pesan untuk orang lain.Semua kenangan masa remajaku terkubur begitu saja dalam tulisan kusam tak tersentuh. Juga catatan kelam hari-hari perkawinanku yang berlangsung dua dekade lebih tak ada yang tahu apa isinya.

Kini aku menemukan kamu sebagai pendengar cerita yang baik. Aku berharap kamu ikhlas mendengarnya. Agar kamu tahu bahwa ada orang yang sangat menderita dalam hidupnya tetapi tetap bertahan demi orang-orang yang dicintai. Agar kamu tahu bahwa hidup itu memerlukan pengurbanan. Dan yang lebih penting jika kamu mengalami kesedihan kamu akan tahu bahwa banyak orang yang lebih sedih darimu.

Arie aku ingin kamu akan ada selamanya di dalam hatiku sebagai teman sejati. Aku akan mencoba tinggal bersama kehidupanku kini dan melupakan usiaku. Bukankah pesan itu juga sudah pernah kusampaikan padamu,Live in Your life and forget your age, Norman Vincent.

Arie, masih ingat nggak ketika pertama kali kita berkenalan aku memanggilmu Pak ? Lucu ya dan kamu mengulangi kata itu. Artinya kamu tidak setuju kan! Itu terjadi karena aku mengira kamu seusia denganku. Tetapi ketika menyimak suaramu kuputuskan memanggil kamu Arie saja. Enak banget namamu untuk diucapkan.

Kini sepuluh bulan hampir terlewati. Aku bersyukur mengenal kamu. Terserah kamu menerjemahkannya bagaimana aku terima. Barangkali kita punya kepentingan yang berbeda. Dan biarlah itu menjadi rahasia hati kita. Pertemanan kita membentangkan cakrawala baruku yang semakin luas melintasi pengalaman buruk. Meninggalkan pengalaman itu sebagai lembaran yang tak perlu dibuka. Dan aku mulai melupakanya sejak kamu mempedulikan aku.

Thanks God for giving a good friend