Sabtu, 10 April 2010

Di Depan Pintu King Abdul Aziz

Di depan Pintu King Abdul Aziz

Cahaya matahari tinggal menyisakan bayangan abu-abu yang mengurung gugusan gedung bertingkat di sekeliling Masjidil Kharam. Lampu-lampu gemerlapan menerobos pilar-pilar keluar melewati seribu pintu menghadiahkan mahakarya keindahan yang mengagumkan. Sementara menara-menara bercahaya yang mengapit atap- atap pintu utama seakan mengucapkan selamat malam dengan senyum yang ramah. Di relung-relung menara dan atap-atap bangunan itu burung merpati masih sibuk keluar masuk lubang seperti mengiringi kesibukan di sekelilingnya yang tak pernah berhenti.Lalu lalang kumpulan manusia yang berdesakan menuju dan meninggalkan tempat suci itu.
Selepas magrib kesibukan berkurang. Aku dan seorang teman beristirahat melepaskan penat.Kami berdua duduk bersila di halaman Masjidil Kharam menghadap ke arah bangunan itu sambil mengobrol menunggu saatnya solat isya.Dua orang wanita bergabung dengan kami.Mereka jemaah haji Indonesia juga dari Jawa Tengah.Lalu kami terlibat dengan obrolan tentang apa saja yang sudah kami lewati hari ini.
“ Bu, Ibu harus segera menyelesaikan persoalan Ibu dengan Pak yani mumpung masih di sini.Jangan membawa persoalan sampai kembali ke Tanah Air” Aku membuka pembicaraan , mengerti apa yang sedang dipikirkan temanku.
“ Biar saja, dia yang berdosa padaku. Memang dia suka begitu.Suka marah-marah” jawab temanku sambil menggoyang badannya seperti mau mengibaskan persoalannya.
“ Tapi Pak Yani sudah memukul Ibu. Mempermalukan Ibu di hadapan orang. Ibu harus meminta dia untuk minta maaf atas kelakuannya.“ Kataku bersungguh-sungguh.
“ Mana bisa begitu, biar saja” jawabnya sekali lagi dengan nada bersungguh-sungguh juga.
Aku menjadi lebih serius ingin membicarakannya, lalu kataku lagi.
“ Perjalanan kita ini sebuah perjalanan ibadah yang harus didasari dengan rasa ikhlas dan sabar.Kita harus bisa melepaskan semua persoalan yang tidak menyenangkan dengan segera. Mengingatkan orang yang telah melakukan kesalahan di tanah suci ini adalah sebuah keharusan. Pak Yani salah telah memukul istrinya dan Ibu harus mengigatkannya agar dia menyadari perbuatannya sebelum pulang.”
Temanku masih diam memandang ke depan tanpa melihatku. Dua perempuan yang tadi mendengar percakapan kami diam-diam saling berpandangan seperti memberi isyarat. Ketika mereka tahu aku memperhatikannya, mereka tersenyum. Lalu salah seorang berkata ”Teman saya ini barusan juga bertengkar dengan suaminya.Dipukul juga”
“ O ya! Kenapa?” Aku bertanya memandang seorang yang dimaksud.
“ Bertengkar soal memilih arah jalan yang akan kami lewati.” Jawab perempuan itu tersenyum. Tapi raut wajahnya menyembunyikan kegelisahan. Percakapan kami menjadi lebih mengasyikkan diselingi senyum dan kadang tertawa juga , membicarakan para suami yang suka berlaku konyol terhadap istrinya.
Angin malam mulai berhembus. Menara hotel Hilton terang benderang menerangi kamar-kamar yang menghadap Masjidil Kharam.Hotel itu berhadapan dengan pintu King Abdul Aziz tempat kami duduk. Lantai halaman masjid mulai dingin.
Duduk tak jauh dari kami sekelompok Orang Turki sedang santap malam. Mereka menggelar makanan mereka. Roti panjang dengan kebab, daging cincang rebus dan lemak bercampur daun bawang plus irisan bawang bombai. Akrab sekali mereka makan sambil bercakap-cakap. Pakaian mereka sedikit lusuh. Empat laki-laki setengah umur dengan wajah tajam berjenggot lebat dan empat wanita berbadan gemuk. Hidung mereka bagus, mancung dengan kombinasi bibir tipis . Dan kelopak mata yang indah dengan bola mata besar. Sangat beda dengan orang Indonesia.
Kami tertarik sejenak memandang mereka. Karena mereka berbicara saling bersahutan . Tetapi itu tidak berlangsung lama kami meneruskan perbincangan dengan topik yang terus berganti. Sesekali di antara kami berdiri atau berjalan di sekitar tempat itu untuk melihat-lihat. Petugas kebersihan membuat pagar tali di area yang akan dipel. Kami pun bergeser ketika area kami akan dibersihkan.
Sungguh malam yang mengesankan.Malam kemerdekaan kami dari para suami yang egois. Aku jadi teringat suamiku di Tanah Air. Beberapa kali ia memukulku apabila aku protes atas kelakuannya yang buruk. Aku tidak hanya disakiti oleh banyak perselingkuhan yang dilakukannya saja, melainkan aku juga sering dicekam ketakutan setiap aku membicarakan itu. Ancaman fisik dan ancaman mental dengan kata-kata menyakitkan adalah makananku selama lebih dari lima tahun. Tepatnya sejak ia mengenal sms-an dalam program Chatt And Date yang diiklankan di televisi itu. Ia seperti merendahkanku dan membanggakan perempuan-perempuan setannya.
Perlahan air mataku merembes keluar.Detik ini suamiku tentu makin menggila tanpa ada orang lain di dekatnya. Sebenarnya kepergianku kali ini juga menjadi bagian dari keinginan meninggalkannya. Menghindar dari setan-setan yang terus menari di sekitar rumahku.
Aku ingin mengadu kepada Allah tentang semua persoalan di dalam rumah tanggaku.Terutama tentang kelakuan suamiku. Selama di Tanah suci setiap saat aku berdoa,maka sebagian besar doaku untuk dia,suamiku. Delapan puluh persen. Ya sebesar itu doa kuberikan untuk dia, Sisanya untuk anak-anakku, orang tuaku dan kerabatku. Dan hanya kurang dari satu persen saja aku berdoa untuk diriku. Karena hanya satu saja yang kuminta kepada Allah yaitu agar aku bisa melupakan semua bayangan buruk yang nyaris melumpuhkan jiwaku.
Langit semakin gelap. Cahaya bintang tenggelam oleh terangnya lampu kuning berkilauan di mana-mana. Dari kejauhan cahaya lampu berwarna putih gemerlapan. Suara alat pendingin udara dan mesin-mesin pekerja di semua bangunan terus memenuhi udara. alat itu tidak pernah berhenti bekerja.
Kami sepakat meninggalkan tempat itu ketika jamaah haji berdatangan lagi untuk memenuhi panggilan solat Isya. Kami kembali memasuki Masjidil Kharam melalui pintu King Abdul Aziz. Melewati pilar-pilar masjid yang indah kami menuruni anak-anak tangga melengkung sebagian lingkaran yang mengelilingi halamah Kabah.
Tidak sampai sepuluh menit setelah azan seluruh penjuru mesjid sudah dipenuhi jamaah. Dan jamaah terus bertambah hingga kami berdesakan saat sembahyang. Seorang laki-laki berpakaian rapi kira-kira berusia 40 tahun,sepertinya berkebangsaan Iran menyusup di sampingku. Tetapi ia memintaku pindah karena kiri kananku laki-laki. Pindah? Mustahil aku pindah dalam situasi seperti itu. Jadi aku diam saja memandang Kabah,bangun kubus berselimut kain hitam. Kuacuhkan saja. Dia berbicara dengan bahasa Arab kepada orang di sebelahnya. Laki-laki muda Afrika. Dan sebentar kemudian pemuda bergamis kekuningan itu berdiri lalu mereka bertukar tempat. Pemuda itu sekarang di sampingku.
Laki-laki Iran itu bisa tersenyum lega sekarang setelah mengomel dan bersungut-sungut karena aku tidak mau pindah. Sambil melihatku dia berkata dengan menggerakkan tangan : “ Kharam” . Aku mengerti maksudnya bahwa perempuan tidak boleh bersebelahan dengan laki-laki. Tetapi aku tidak suka sikapnya.Ia laki-laki egois.
Seusai sembahyang Isya kami pulang, keluar melalui pintu yang sama, pintu King Abdul Aziz. Masih berdesakan kami meninggalkan Masjidil Kharam,melalui lorong pertokoan tepat di depannya. Di kawasan Masfalla kami berpisah dengan dua teman baru tadi. Dan menyusuri jalanan sibuk dengan berjalan kaki sepanjang satu kilometer menuju Bakhutmah.
Rasanya capek sekali badanku.Nafsu makanku tidak ada dan asupan kurang gizi yang membuatnya begitu. Tidak seimbang dengan energi yang harus kukeluarkan.
Di depan pintu hotel, Pak Yani,suami temanku sudah menunggu.Dengan pakaian ikhramnya, kain putih yang melilit badan dan pundak dengan ikat pinggang besar warna hijau ia berdiri di tangga.Lelaki Madura tinggi besar itu menatapku tajam dan tanpa basa basi bertanya padaku : “ Mana istriku? “
Aku berhenti sebentar sambil memiringkan badan menunjuk sebuah toko diseberang hotel. “ Masih belanja di toko itu.” Jawabku sambil meninggalkannya.
Keesokan harinya temanku itu tidak lagi meminta aku menemaninya ke Masjidil Kharam karena suaminya sudah menggandeng tangannya.
Aku tersenyum membayangkannya saat Pak Yani tiba-tiba tanpa suara masuk ke tenda perempuan di Mina kemarin dan memukul keras kepala istrinya hanya karena istrinya tidak mendengar panggilannya.
Di depan pintu King Abdul Aziz aku sendiri memandangi keindahan senja yang tak mungkin dapat kulupakan. Aku manusia merdeka sekarang dan tak lama lagi aku harus kembali ke Tanah Air tercinta dan siap memasuki lagi duniaku yang kelam dalam cengkeraman penganiayaan batin oleh lelaki jahat di rumahku. Aku harus kuat.
Kini, jika aku rindu kemerdekaanku, aku membuka situs Google Earth dan mengamati titik-titik kecil bertuliskan Al-kharam, Mecca, Masfella dan Bakhutmah.

Tabanan, Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar