Jumat, 30 September 2016

Sumur Tua Peninggalan Belanda

Penasaran dengan komentar seorang pembaca blog saya tentang  Potensi Kota Bojonegoro bahwa masih ada potensi lain yang tidak saya sampaikan dalam tulisan, yaitu tambang minyak tradisional di kecamatan Kedewan, Maka segera setelah perjalanan di Banyuwangi Selatan kami melanjutkan perjalanan ke Bojonegoro sekaligus merayakan Idul Adha di sana bersama ibu dan kelurga yang lain. .

Singkatnya kami merayakan hari raya kurban bersama empat saudara di dekat ibu. Masing-masing kami membeli seekor kambing, satu dipotong di rumah dibagikan kepada karyawan dan tiga lain di serahkan ke desa asal ayah kami. kami senang bisa membawa ibu ke acara solat Ied di lapangan walau dengan menggunakan kursi roda.

Sehari setelah itu adalah acara pribadi. Saya berdua dengan suami mewujudkan keinginan untuk melihat desa Kedewan. Lagi pula belum lama ini desa itu diliput di televisi.
Kami berangkat dengan sekitar jam satu siang. Sebenarnya jarak Kedewan dengan kta bojonegoro tidak terlalu jauh, hanya 44 km saja tetapi nama desa ini jarang diketahui orang. Letak kecamatan Kedewan memang agak terpencil di tegah hutan jati dengan kontur tanah naik turun bukit. Kondisi jalan sebagian besar rusak. Begitu memasuki kawasan pertambangan terdapat pos penjagaan di desa Kawengan.




Di sini jalan aspal masih lumayan tetapi tidak terlalu panjang karena setelah itu kembali memasuki kawasan hutan jati lagi dengan kondisi jalan yang lebih rusak. Beberapa menit kemudian kawasan desa dan kantor pertamina Kawengan dan terdapat deretan rumah dinas yang mungil tetapi rapi. Berbeda dengan rumah-rumah masyarakat yang sangat bersahaja




Kantor Pertamina Desa Kawengan
 Di sebuah tikungan persis di pinggir jalan untuk pertama kalinya kami bertemu dengan mesin pompa. Tetapi sepertinya pompa ini sudah tidak berfungsi, hanya ada tanda bahwa ini pompa milik milik pertamina.






 Selanjutnya kami menemukan pompa yang masih aktif,






 Pompa itu bergerak naik turun secara teratur secara otomatis tanpa perlu dikendalikan. pompa ini bekerja sepanjang waktu. Di dasar pompa ada semacam tandon yang dihubungkan dengan pipia-pipa sebesar tiang telepon. Rupanya ini sumur minyak itu pikir saya. Kami turun untuk foto sebentar.










Selanjutnya ternyata ada beberapa lagi pompa otomatis semacam ini. Pompa-pompa ini tampaknya dirawat dengan baik sekalipun tidak dijaga oleh seorang operator.


Cerobong Api tidak jauh dari Pompa


Sumur Tradisional peninggalan Belanda

Dalam perjalanan selanjutnya tampaklah di sebuah tanah yang lapang kesibukan beberapa orang. Ada menara-menara yang tersusun dari pipa besi berwarna lusuh kehitaman. Begitu juga tanah sekitar menara itu. Pastilah itu sumur tua yang kami cari. Lalu kami berhenti dan mendekat, bersalam dan minta ijin untuk melihat kegiatan mereka. Benar, ini adalah sumur minyak milik masyarakat. Berarti desa wisata sumur minyak tradisional itu sudah dekat. Tetapi ini yang pertama kami lihat jadi masih membuat kami penasaran.
Sumur ini ternyata sumur pompa dengan lubang sumbu sumur berdiameter kurang lebih 20 cm. Sumbu itu dipompa oleh sebuah pipa sebesar lubang yang bergerak naik turun. Pergerakan itu dilakukan oleh manusia secara manual dengan cara mengulur tali besi dari  jarak jauh. Tali itu menggulung pada kumparan dan tarik ulur dengan  memutar kemudi berbentuk palang horisontal. Palang-palang itu kemudian didorong beramai-ramai 


Tampaknya mereka tidak berhasil

Tetapi sepertinya jerih payah mereka tidak berhasil. mata pompa yang menutup subu tidak bergerak. Peluh sudah meleleh lagi adahal mereka baru memulai lagi setelah istirahat makan siang. Ada sisa minuman dan bekas bungkus makanan di sebuah gubuk di pinggir tanah lapang itu. Sangat kontras kedaan ini dengan prinsip kerja sumur-sumur pertamina yang tidak memerlukan tenaga manusia tetapi mampu bekerja siang malam sepanjang waktu. Tetapi bersyukurlah bahwa masyarakat di sini  masih diperbolehkan berladang minyak  sekalipun seandainya perusahaan pemerintah mengambil alih sumur ini karena sumur ini adalah sumur warisan pemerintah kolonial Belanda, bisa saja terjadi.

Melanjutkan perjalanan, sampailah ke desa Wonocolo yang menjadi pusat kegiatan penambangan minyak. Desa ini menjadi objek wisata dengan kilang-kilang minyaknya. Tepatnya sumur minyak yang memenuhi bukit-bukit gersang. Kegiatan penambangan ini yang ditawarkan sebagai daya tarik tempat ini. Di dua buah puncak bukit dibangun tempat istirahat dengan view menara sumur dan hutan jati serta lembah.









 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar