Jumat, 18 Juli 2014

Menempuh Jalan Pintas Bukit Eyek-Eyek

Selamat pagi pembaca,
Bukit Eyek-Eyek seperti bukit-bukit kerucut lainnya yang melingkungi G Semeru. Desa Ranu Pane ada di balik bukit. Kerucut bukit ini cukup tinggi dan yang pasti sebagai jalan pintas pendaki akan langsung mendakinya lalu menuruni. Waktu tempuh tentu saja lebih pendek, yaitu dua sampai tiga jam saja.


Sehari ini kami full berjalan, bahkan sejak semalam mulai dari muncak lalu turun kembali dan istirahat sarapan sebentar. Pengennya tidur  tetapi tidak bisa. Jam sebelas siang saya memulai perjalanan kembali. Berangkat duluan karena dua keponakan masih tidur dengan kesepakatan kita akan bertemu di pos Cemoro Kandang.



Perjalan turun lebih cepat karena sesekali dengan cara berlari kecil ketika jalan menurun terjal. Sampai pos Cemoro Kandang istirahat minum dan makan semangka. Ada penjual aqua dan makanan di sana. Istirahat sudah cukup rasanya harus segera melanjutkan jalan. Saya pesan pada pedagang saya langsung berangkat saja jika keluarga saya mencari.

Panorama treking yang kami lalui dari kaki bukit Eyek-Eyek
Perjalanan pulang ini tidak seperti gambaran porter kami, bahwa rutenya pendek yaitu hanya mendaki lalu menurun. Ternyata rute yang kami lalui sama dengan mendaki gunung tersendiri. Cukup jauh dan mendaki terus. Mana lebar jalannya hanya setengah meter menyisir tebing. Sekali selip hilang sudah tertanam di semak di dasar tebing. Medannya lebih sulit dan basah sehingga beberapa tempat sangat licin.
Saya bertemu dengan rombongan Kru Televisi Trans7. Kami bersama-sama, salah seorang mereka memberi saya sebotol aqua air hangat karena mengira saya tidak membawa air. Ya karena saya hanya membawa tas slempang kecil. Mereka memaksa saya menerimanya dan ternyata air hangat ini sangat memberi kenikmatan di tengah hutan yang dingin ini.
              Sore hari baru kami mencapai puncak bukit. Porter saya sudah menunggu sambil beristirahat. Selanjutnya meneruskan perjalanan ke desa Ranu Pane dengan menuruni bukit. Jalan menurun ini seolah tidak ada ujungnya. Dataran di bawah tidak kelihatan karena tertutup hutan dan sangat jauh membentang.



Menjelang matahari terbenam baru sampai kaki bukit. Seorang porter yang sudah pulang duluan menjemput saya dengan motor. Saya ragu-ragu karena jalan tidak cukup aman dilalui, kiri kanan masih lereng-lereng curam. Tetapi tidak ada pilihan lain, saya ikut dengan mata terpejam karena ngeri melihat sekitar. Baru setelah mendekati dataran saya bisa melihat betapa indahnya panorama senja di kaki bukit. Lalu kami melewati jalan-jalan di antara kebun sayuran dan kentang. Beberapa kali bertemu dengan pendaki yang tadi mendahului saya. mereka tampak heran melihat saya mbonceng motor. Lima belas menit kemudian saya sampai di desa dan bergabung dengan tim yang sudah menikmati kopi panas di dekat perapian. Selanjutnya makan malam dengan menu khas Ranu Pane. Ada sambal lombok yang disebut lombok terong, karena bentuk dan besarnya seperti terong. Sayur vietnam, yaitu sejenis daun ginseng yang hanya ditanam di desa Ranu Pane saja. Bibit sayur ini memang berasal dari Vietnam yang dibagikan ke petani melalui dinas pertanian untuk kemudian hasil panennya akan dibeli lagi oleh pemberi bibit. Dan selanjutnya di ekspor ke negara asalnya yaitu Vietnam. Harga perkilogram sayur adalah lima puluh ribu rupiah. Jadi pantas saja mereka tidak perlu menjual di pasaran.
Kami berpisah dan saya melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya dan paginya baru pulang ke Bojonegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar