Sore tiba-tiba mendung pekat di ujung selatan kota disertai angin menderu meluruhkan dedaunan. Beberapa menit kemudian hujan. Bersyukur untuk mereka para penanam padi yang sudah demikian rupa menunggu sawah ladang yang kering kerontang dan menela. Rekahan-rekahan tanah itu menyedihkan seperti luka yang menyakitkan.
Tetapi di ladang lain petani tembakau menjadi was-was dengan datangnya hujan yang tiba-tiba karena itu berarti gugurnya harapan meraih hasil jerih payahnya. Daun tembakau yang menghijau keranuman itu akan kehilangan aroma premiumnya sehingga harga akan jatuh. Bersyukurlah mereka karena hujan tiba-tiba berhenti. Hmm keseimbangan dan keadilan, tetapi siapa di antara mereka yang paling mendapatkan keadilan jika harapan belum membuahkan hasil. Boleh jadi petani tembakau sedang bersuka cita dan petani padi kembali murung, namun siapa bisa meramalkan jika hujan tidak akan turun atau hujan terburu turun.
Begitulah absurdnya harapan. Harapan para petanipun berbeda begitu pula harapan orang tua terhadap anak dan sebaliknya harapan anak kepada orang tuanya. Harapan guru terhadap muridnya dan harapan murid kepada gurunya. Harapan perempuan terhadap lelakinya dan harapan lelaki terhadap perempuannya. Tidak pernah sama persis. Terkadang bahkan berbalik tak sebanding.