Saya berpikir demikian karena di kelas sebelumnya murid mengatakan ada kegiatan untuk acara itu yaitu adanya beberapa perlombaan. Konyolnya saya lupa mengabsen siswa yang tidak masuk karena keburu sibuk dengan materi yang saya sajikan dengan LCD.
Saya tidak senang sebenarnya mengajar dengan kondisi kelas kosong begini, Tetapi apakah saya harus mundur? Saya lupakan mereka yang tidak ada di kelas, dan selanjutnya pelajaran berjalan sampai selesai.
Saya menjadi tidak habis pikir, Begitu buruknya saya. Apa yang saya lakukan setiap kali masuk kelas berusaha membina mereka, mengingatkan mereka tentang moral, sikap dan etika bahkan melarang mereka keluar untuk alasan ke kamar mandi pada jam pelajaran berlangsung. Ini bukan pekerjaan yang lebih mudah dari mengajar. Pekerjaan ini mengekploitasi emosi, Saya melakukannya dengan berharap melihat adanya perubahan, saya ingin melihat murid saya memiliki kredibilitas yang sama, kualitas yang sama dengan anak-anak sekolah yang lain. Nyatanya hari itu terjadi.
Sungguh saya sakit karena kelalaian saya tidak mengabsen hari itu.
Satu hari yang nahas,
Konyolnya saya gelagapan karena pertanyaan dan peringatan itu terlalu mendadak. Konsentrasi belum beralih dari kelas. Saya menjawab asal-asalan sepotong-sepotong berdasarkan ucapan-ucapan anak lalu mengambil kesimpulan saya sendiri. Sungguh memalukan saya mencatut satu nama siswa. Saya berdosa.
Inilah yang menyakitkan itu. Saya terus berpikir apa saya harus hilang semangat, Berhenti menjadi guru?
Ribuan murid sudah bersama saya, ribuan kenangan manis memenuhi lembaran catatan saya. Tetapi kali ini saya membayangkan wajah-wajah murid yang bagaikan mutasi sebuah virus. Dan saya tidak mau terinfeksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar