Minggu, 28 Juni 2015

Ketidakadilan

Seperti yang saya katakan bahwa kehidupan saya tidak pernah berhenti berirama. Terkadang hentakannya menyesakkan. Namun kesesakan kali ini tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Dinding hati saya cukup kuat untuk mementalkan semuanya.
jalan panjang yang telah saya lewati sudah seharusnya menjadi pelajaran yang berguna untuk mengingatkan saya agar bisa mengontrol setiap ucapan.

Berbagai pertanyaan membuat pening saya rasakan. Di antara rentetan kalimat itu ada satu kalimat yang membuat saya ingin bertanya, namun saya urungkan karena saya tidak mau berdebat, saya tahu satu kata yang saya ucapkan akan membakar saya sendiri.

Jadi diam adalah jalan terbaik, dan lebih baik lagi adala sebuah harapan akan adanya kebenaran yang bisa dilihat oleh mata hatinya.
Adanya kesadaran untuk melihat dengan jujur apa arti kata keadilan itu,  bagi siapa ketidakadilan itu.

Kamis, 25 Juni 2015

Jiwaku

Kau dengar nyanyian burung itu, itulah rinduku padamu
Ia bernyanyi menyambut terbit matahari. Tetapi kabut telah menutupnya sehingga seribu nyanyian tak mampu menghadirkan cahaya.

.....
pagi tak terhitung kali berganti dan tak terhitung pula sepi menanti. Namun tak sekalipun terjadi matahari hangat dalam peluk cintaku.
belahan hatiku, hidupku, cahaya jiwaku, langitku, lautku....
nafasku lebih panjang kuhirup karenamu, hidupku lebih bermakna karenamu,
Tetaplah tinggal dalam hidupku sampai engkau mampu melangkah tanpaku
Engkau boleh meninggalkan aku tanpa melepas jiwaku.
Karena jiwaku tak pernah bisa meninggalkanmu.


Ujian yang Tak Selesai

Mengapa hampir setiap berhadapan selalu ada kalimat sumbang yang harus saya dengarkan. Kenapa setiap waktu selalu ada pertentangan walau untuk hal yang kecil. Apakah saya terlalu sombong jika menganggap kemenangannya di setiap pertentangan itu sebagai kemenangan konyol karena dalam masalah besar ia tidak pernah berani menjadi pemenang. Dan hanya di hadapan saya ia bisa menjadi pemenang karena saya tidak mau berselisih hanya untuk hal sepele.

Terkadang saya merasa hari demi hari saya semakin membenci. Membenci setiap kali meja makan menjadi arena perang dingin.Membenci setiap benda kecil yang menjadi pemicunya.
Saya menjadi pembenci? Membenci setiap hal kecil yang menjadi permasalahan jika saya melakukannya, sementara saya sudah terlalu letih dengan hal besar yang seharusnya tidak saya kerjakan. Dia tidak pernah berpikir tentang itu padahal sudah sangat lama saya menunggu dia bisa melakukannya setelah itu.

Sekarang seharusnya ia tahu bagaimana keadaan saya.
Ah tetapi sudahlah, saya belum lelah untuk meminta agar Tuhan selalu memberi saya keikhlasan dan kesabaran sehingga saya bisa menerima keadaan ini sampai kapanpun.
Karena tidak ada kesepakatan apapun yang bisa diterima sekalipun itu sangat adil.







Rabu, 24 Juni 2015

Hadiah Diam-Diam

Saya tahu sebuah puisi yang diposting tertanggal 24 Juni pukul 05.23 WIB itu menyangkut diri saya. Ada beberapa pernyataan yang memuat pengalaman perjalanan saya pertengahan bulan ini.
Saya tersenyum membacanya karena mendapatkan perhatian yang begitu besar darinya.
saya menghargainya sebagai sebuah hadiah yang diberikan secara diam-diam pada saya.


KESEPAKATAN
Engkau mengkristalkan semua hasratku
yang karenamu ada berjuta alasan
Hingga terukir namamu pada jendela nuraniku...
 
Bila saja sempat kau menanyaiku
teramat berat bagiku menyelesaikan lipatan kata
Ketika rasa kita harus berkemas
Terlalu segera menatapmu
Dalam tunduk atas inginku, namun berhenti disini
Pada persinggahan bersihnya hati
Meski rupanya aku sendiri
Menjadi tersakiti karena kesepakatan ini
Kesulitan bagiku menghapus liku gaung ceritamu
Berpendar mendengar berat menelan suaramu
Sebab engkau terlalu ada, merantai dalam
tengadah pagi dan petangku

Semoga aku benar
Kurasakan cahaya bulanmu sempurna mengerdip
Maka, ijinkan aku menahanmu pada satu musim
Untuk membuat kemilauku seputih yang pernah kau sangsi
Selembut usapan awal kusebut namamu
Hingga keterkaitan persahabatan kita menjadi nyata
Waktu seakan melambat disisiku
Usai kita memilih menyimpan bulan
yang mengetuk dinding hati kita
bunga-bunga pagar jadi mengerling heran
batu-batu taman dan genangan gerimis beradu tanya
 Oh, kembalikan dulu kepingan bulan itu pada malam
mungkin lain waktu, saat detik telah benar menuntun kita
pada ikatan yang lebih agung lagi mulia
bisa kau tawarkan kembali bulanmu padaku
hingga bait pesonaku menjadi utuh
 terasa ada, nyata hanya menyebab padamu
Akhirnya telah kita sepakati kesepakatan terbaik malam ini
Sebelum kau tutup kotaku
Lalu kembali pada subuh kotamu
Namun maaf,
Andai seusai ini kau menjadi resah terganggu karenaku
Yang setiap kala memiliki jiwa perindu
Dan setiap itu pula memanggil diam-mu
Maka rajuklah aku
Untuk tidak menarik kembali
Bulan yang mengumbar rona persinggahan hati kita
Suka · Komentari ·


Namun penghargaan atas ungkapan puisi ini tidak cukup hanya dalam senyum, saya benar-benar sedih seolah saya sedang membaca kisah yang rumit. Bahwa waktu telah memutar berbagai lakon cerita namun pada titik jenuh ia memutar balik sedikit kisah lama dan itu terjadi tanpa sengaja.
Betapa sedihnya saya setiap kali ia tuliskan puisi. Itu puisi tentang saya, selalu tentang saya.
Saya menjadi begitu berarti baginya walaupun itu membuat hati saya pilu. Tak bisa berkata apapun tentang perasaan saya. Saya masih punya hati yang bisa saya lapangkan untuk kebaikan ini. Dan semai tunas  itu tidak mungkin saya rusak. Saya harus mengakuinya sebagai tunas yang menyejukkan untuk dipandang. Meskipun saya tidak perlu menyentuhnya.


43 tahun telah berlalu dari kisah beberapa jam saja, dan itu juga hanya dalam tatap mata tanpa kata-
kata. Tidak pernah saya kira jika kini keinginannya untuk melihat saya lagi begitu besar. Melihat saya lagi setelah keadaan saya sangat berbeda dengan saya yang dulu saat ia melihat saya pertama kali. 43 tahun waktu yang sudah mengubah saya begitu rupa. Mungkinkah ia akan tetap merindukan saya setelah ini?
Ketika satu malam di pertengahan Juni ini ia menelepon saya saya teramat gugup berbicara. Suaranya terdengar terbata-bata juga seolah suara kelelahan. Saya bayangkan kami memang sudah terlalu tua untuk bercerita.
Dan itu juga sudah berlalu, tinggallah kenangan saja dan akan menjadi kenangan juga.


Jumat, 19 Juni 2015

Menunggu Hari Bahagia

Marhaban Ya Ramadhan
Hari kedua puasa ramadhan tahun ini berlalu dengan nyaman.Suhu udara tidak terlalu panas bahkan dingin pada malam hari.
Kami solat tarawih di rumah saja seperti tahun lalu. Ada yang berbeda pada puasa kali ini yaitu hadirnya ibu saya ditengah-tengah keluarga kami. Rasanya senang sekali bisa saling bergantian merasakan Ramadhan bersama orang tua kami.  Silaturrahim antara keluarga saya dan keluarga adik-adik yang tinggal di Bali menjadi lebih erat karena seringnya kebersamaan.

Kami berencana merayakan lebaran di Bali. Karena itu saya sedang berbenah dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara tersebut. Akan berkumpul belasan anggota keluarga pada hari tersebut di rumah ini karena padahari lebaran ini ibu berada di sini. Tidak sabar rasanya menanti hari itu ingin mewujudkan keinginan merawat ibu pada sebagian hari tuanya di rumah kami dan menyambut sanak famili di rumah pada hari lebaran. Semoga datangnya hari kehangatan itumenjadi kenyataan. Amin.

Senin, 01 Juni 2015

Kelas Terakhir

Udara begitu lembut melumuri kulit, membangkitkan kesadaran bahwa saya adalah orang yang beruntung  dalam menyongsong hari baru.
Pagi ini hangat dan cerah, merupakan pagi pertama dalam masa pensiun saya. Rasanya saya begitu gembira tanpa sebab. Ada yang terasa ringan pada diri saya walaupun selama ini saya juga menyukai hal yang berat. Pokoknya beda dan menyenangkan saja. Seolah teriakan rencana di depan bermunculan menagih janji.
Tetapi janji yang mana saya sudah lupa. Terlalu banyaknya keinginan yang membuat saya melupakannya.
Barangkali euforia kebebasan kali ini perlu saya puaskan dulu sampai saya mendapatkan jati diri saya setelah kemerdekaan ini terpuasi.


Murid Terakhir 29 Mei 2015

Saya masih ingat hari terakhir di sekolah, dua hari lalu, semua yang saya lihat di tempat kerja terasa biasa saja. Tidak seindah hari-hari lalu yang menjadikan saya merasa takut berpisah dengan semuanya. Artinya kali ini perasaa itu sudah hilang  karena yang saya takutkan sudah ada di hadapan dan ternyata tidak seseram  dalam bayangan saya.
Pada hari terakhir kerja itu hujan turun dengan lebat. Mantel saya baru, mantel hujan warna oranye dengan model celana dan jaket. Beberapa teman memuji mantel itu bagus, bahkan ada bertanya berapa harganya.Ini
hal yang biasa tetapi menjadi luar biasa bagi saya saat itu karena saya merasa diperhatikan. Ketika pulang sekolah seorang murid datang tergesa-gesa dan menyalami saya dengan wajah berseri. Kami bicara tentang tugas dan ia mengucapkan selamat jalan. Dua kali kami bersalaman, ia mencium tangan saya. oh itu kenangan terakhir kalinya dengan murid saya. Selanjutnya  saya ingin cepat pergi karena saya takut tidak bisa menahan air mata. Namun datang seorang bapak guru, kami mengobrol sejenak kemudian segera saya pergi, tersenyum pada satpam dan bremmmm. .... good bye.
34 tahun saya habiskan banyak waktu di tempat ini dalam suka gembira sampai menit terakhir saya saat saya menstater motor saya. Selanjutnya pergi membawa kenangan terindah saya walaupun tak bisa  meninggalkan apa-apa, bahkan jejak kaki karena hujan turun menghapusnya sesaat setelah saya pergi.

Meskipun begitu saya merasa beruntung  bisa bekerja sampai menit-menit terakhir jam bekerja. Saya sangat puas bisa menyelesaikan semua urusan secepatnya sebelum waktu berakhir. Nilai, remedial ujian kenaikan dan nilai rapor.

Bunga Terakhir 29 Mei 2015

Yah terima kasih Tuhan satu tugas saya selesai, saya mohon kepada-Mu beri saya kesehatan dan kekuatan sampai semua tugas yang lainnya selesai. Amien