Sabtu, 31 Agustus 2013

Menuju kamp Plawangan II


Kami meninggalkan pos sementara Plawangan pada tengah hari setelah para pemuncak meninggalkan Plawangan II. Dua porter mendahului untuk menyiapkan tenda. Bersyukur udara yang dingin mengurangi panasnya sinar matahari dan kami bisa melangkah dengan santai. Apalagi jarak antara dua kamp ini tidak jauh, hanya menempuh dua bukit kecil sampailah kami ke kamp Plawangan II. Pos ini merupakan pos terakhir yang menjadi start ke puncak gunung Rinjani. Setelah pos Plawangan II pendakian ke summit memerlukan empat jam lagi walaupun jarak pandangan mata sudah sangat dekat, yaitu tinggal melintasi sedikit gerumbulan pinus dan semak lalu memanjat. Tetapi pendakian ke summit tidak bisa dilakukan hari ini karena tujuan utama pendakian ke summit adalah melihat matahari terbit. Selain itu apabila start pendakian dimulai siang hari sama dengan menantang bahaya karena cuaca saat pendaki sampai di puncak akan sangat ekstrim. Ancaman angin keras dan suhu yang sangat dingin bahkan badai bisa sangat berisiko. Jadi pada umumnya pendakian dimulai sejak jam 00.00 sampai 02.00.Apabila perjalanan tepat waktu moment detik-detik terbitnya matahari akan bisa disaksikan dengan baik sebelum kabut datang.

Pemandangan ke Summit dari kamp Plawangan I





Bukit-Bukit Dipenuhi Tenda





Tenda Kami Sudah Menunggu

Pendakian menjelang tujuh belas Agustus memang ramai. Di beberapa tempat yang sedikit rata sepanjang bukit yang kami lewati sudah dipenuhi tenda. Juga di bawah pohon pinus, di lereng bahkan di jalan yang dilewati digunakan ngekamp.
Kami tiba di bukit terakhir yang berujung semak dan hutan pinus kecil. Ini merupakan tempat terdekat dengan sumber air, hanya satu jam. Kontur bukit yang tumpul bertrap menjadi tempat yang aman dari angin. Ketika kami tiba tenda sudah siap. Tenda kami berjajar di bagian yang rendah dan aman dilindungi tebing dan cadas di belakang dan depan. Persis di pemandangan danau.

Areal kamp ini merupakan tempat terluas yang bisa menampung hampir seratus tenda. Di cekungan kami ada sepuluh tenda sedang yang lainnya berada di dataran di atasnya.
Hari ini kami istirahat total di sekitar kemah dan menikmati pemandangan sekitar saja. Sementara anak-anak mengambil air untuk bekal muncak nanti malam. Tetapi ada juga yang ke summit pada siang hari,. Tampak mereka sebagai titik-titik warna warni bergerak di dinding gunung.

cuaca hari ini lebih banyak berkabut sampai sore hari, namun kami masih sempat menyaksikan saat-saat matahari tenggelam di seberang danau.


Malamnya porter membuat api unggun di depan tenda dan kami ngobrol sambil makan keladi rebus dan teh panas.


Jam sembilan kami siap tidur tetapi udara yang terlalu dingin menyulitkannya ditambah tenda-tenda di samping kami ribut dan menyalakan petasan. Tetapi apa boleh buat, ini kan di alam bebas. Akhirnya kami tertidur juga sampai terdengar suara porter yang sudah bangun pada jam 00.00. Di atas bukit di belakang tampak para pemuncak sudah berangkat. Senter-senter kepala mereka menyilaukan bergerak-gerak mengikuti langkah mereka menuju ke arah kami dan selanjutnya melewatinya. Tim kami berangkat pada jam 01.00 dengan seorang porter.







Minggu, 25 Agustus 2013

Pagi Pertama Di Atas Rinjani


Masih saya ingat, saya terbangun merasakan hari sudah pagi. Tidak sabar ingin mengetahui bagaimana suasana di luar tenda.Saya mengintip dari jendela tenda. Wow...spontan rasa kedinginan saya hilang melihat keindahan panorama. Kami segera bangun dan membuka tenda memandang matahari kemerahan di balik perbukitan. Sunrise!!! Ternyata semalam kami sudah melewati perjalanan di tempat yang penuh eksotisme. Kekaguman kami bertambah setelah keluar tenda karena di belakang kami adalah pemandangan danau yang mebiru di kejauhan. Danau yang luas dilingkungi gunung dan hutan pinus. Persis yang saya lihat di website tentang Pendakian Gunung Rinjani. Inilah Segara Anak itu, kami saling menegaskan.




Jam enam, porter termuda kami datang dari sumber air. Ia berangkat jam empat pagi katanya. Porter lainnya mempersiapkan masakan dan merebus air. Pagi itu kami bertiga, saya, anak dan adik menghirup kopi panas yang pertama di camp. Terasa sangat nikmat dan hilanglah rasa penyesalan oleh medan yang super berat semalam.
Ini menjadi pagi pertama yang paling indah dan nikmat. Seperti sudah mencapai harapan walau belum sampai ke puncak.




Sehari ini kami istirahat di sekitar camp transit Plawangan I menunggu camp Plawangan tujuan ada tempat untuk tiga tenda. Dan sehabis makan siang kami bersiap menuju ke Plawangan II karena sudah banyak pendaki yang turun. Begitu melihat bukit di depan sempat sedih membayangkan sulitnya menempuh perjalanan. Namun mengingat itulah tempat tujuan berikutnya untuk sampai ke puncak dan ke danau cepat-cepat saya lupakan ketakutan itu. Kami bersemangat lagi. Mulai berjalan perlahan setelah mengambil gambar di tempat itu.





Minggu, 18 Agustus 2013

Mendaki Gunung Rinjani


Pembaca, pada akhirnya saya bisa mewujudkan impian saya untuk mendaki Gunung Rinjani. Tidak terkira sulitnya menempuh perjalanan menuju ke sana sekalipun dari kejauhan gunung ini tampak mulus.


Gunung Rinjani Sebelum Pos Satu


Perjalanan dimulai dari desa Sembalun Lawang. Dari kota Mataram memerlukan waktu hampir tiga jam dengan mobil ke  arah  timur.










 





Jam sembilan malam kami tiba di desa Sembalun Lawang dan langsung menginap di tempat yang sudah disediakan porter. Suhu udara di Sembalun sangat dingin sehingga di setiap kumpulan orang selalu ada api unggun untuk menghangatkan diri. Mereka menyebutnya merindu. Kami tidur di dalam sleeping bag,walau begitu kami sulit tidur juga karena masih ke dinginan.


.

Jam enam pagi kami bangun selanjutnya porter membelikan kami sarapan nasi bungkus lalu bersiap memulai perjalanan.Tim kami ada delapan orang dengan empat porter yang bertugas membawa perbekalan dan sekaligus memasak selama di camp nanti. Perjalanan diawali menggunakan kendaraan Pickup L-300 menuju start pendakian setelah melapor dan membeli tiket di pos Taman Nasional Gunung Rijani.Harga tiket adalah Rp 2500 perorang.


Masih Segar Berseri Semuanya


Kendaraan berjalan menyusup di sela-sela tumbuhan yang rapat memagari jalan sempit dan bergelombang hingga berakhir di sebuah jurang. Sebelum melangkah kami berdoa terlebih dahulu dengan berdiri melingkar lalu menyatukan semangat dengan menyusun telapak tangan. Sementara para porter sudah mengangkat perbekalan kami.




Dengan langkah gembira kami bergerak menyisir sungai kering menuju lereng-lereng perbukian yang tertutup oleh rumput alang-alang dan selanjutnya melewati padang savana yang terbentang luas. Jalan tidak rata karena jalan setapak itu sebenarnya merupakan jalan aliran air hujan dari tempat yang lebih tinggi menuju celah dan sungai tadah hujan.





Nikmatnya Berteduh


Panas mulai terasa sebelum mencapai pos satu yang memerlukan waktu sedikitnya empat jam. Kami istirahat sebentar di pos bayangan untuk minum. Porter menyiapkan minuman dan menyajikan nanas. Terasa sangat nikmat. Kendati sudah mulai letih rasa penasaran tetap memberi semangat kami. Melanjutkan perjalanan lagi masih menyusuri jalan setapak di tengah savana hingga pos satu. Di sini kami beristirahat cukup lama untuk makan siang dan solat lohor. Para porter bersiap memasak dan menggelar matras. Banyak rombongan lainnya juga beristirahat di sini walaupun di bawah terik matahari dan semuanya kecapaian. Tidak banyak yang berbicara hanya duduk-duduk atau berbaring diam-diam.


Capek Banget



Semua Takluk



Menghimpun Tenaga





Setelah cukup semuanya, perjalanan dilanjutkan lagi menuju pos dua. Seharusnya pos ini normalnya hanya memerlukan waktu satu jam dari pos satu. Tetapi kami berjalan lambat sehingga dua jam kemudian kami sampai pos dua. Kaki mulai terasa penat. Kami langsung berselonjor di pos kecil dan berikutnya beberapa rombongan tiba dan kami semua berbaur. Mereka adalah anak-anak muda pecinta alam dan wisatawan asing. Sama dengan saat istirahat di pos satu para pendaki itu juga lebih banyak diam.


Siap Melanjutkan


Hanya setengah jam beristirahat, kami jalan lagi menuju pos tiga. Jarak tempuh kali ini sama lamanya dengan pos nol ke pos satu. Panjang, dan bukit-bukitnya semakin berliku dan mendaki. Jam lima sore kami tiba di pos tiga. Kami sudah sangat capek dan ketika mendengar kata harus ngecamp di pos tiga karena kebakaran hutan menutup jalan yang akan kami lalui saya sangat senang. Namun, ketua rombongan mengatakan jalan terus. Waduh, terpaksa jalan terus, sementara rombongan lainnya sudah beristirahat. Jika mengikuti peraturan, di pos tiga ini kami harus menginap jika lewat jam tiga sore. Karena setelah pos tiga ini pendaki akan memulai muncak, menurut istilah porter. Kami harus mendaki lima bukit terjal dan seharusnya tidak boleh ditempuh pada malam hari karena berbahaya.


Melewati Pos 3


Tidak terbayangkan begitu sulitnya menempuh perjalanan ini dalam keadaan letih dan lapar. Kami sudah terpisah-pisah dan porter entah sudah sampai di mana. Mula-mula pendakian di celah-celah bukit berbatu lalu melewati punggung dan lereng-lereng gundul yang berdebu dan licin. Jika melewati puncak-puncak perbukitan yang dipenuhi akar-akar pinus treasa sedikit membantu menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir, namun itu juga kami lewati dengan susah payah dan kadang-kadang juga merayap dan merangkak. Kami mendaki dan mendaki berusaha tidak kemalaman di bukit-bukit penyesalan. Ya bukit yang kami daki saat itu dinamai bukit penyesalan. Bukit-bukit yang sangat sulit didaki dan tidak munkin akan kembali. Tidak jarang kami temui pendaki yang tampak putus asa bahkan ada yang menangis.


Merayapi Bukit



Sampai Matahari Terbenam


Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami perlu beristirahat, kami duduk sebentar di bawah pohon pinus. Saat itu tampak bukit-bukit yang sudah kami lampaui. Sudah sangat jauh dan tinggi tempat kami berada tetapi belum ada tanda-tanda akan sampai di tempat tujuan. Saya masih sempat megirim gambar ke grup BBM, anak saya sedikit kesal karena kami sedang berada di tempat yang berbahaya di tepi jurang. Memang di manapun berada kiri kanan kami adalah lereng-lereng bukit yang terjal dan jurang.

Malam Datang


Sekarang matahari benar-benar tenggelam, kami tidak tahu bagaimana jalan di depan. Apakah masih akan mendaki dan mendaki. Setiap berpapasan dengan pendaki yang berlawanan arah mereka selalu menjawab sudah dekat dan selalu memberi semangat. Aneh, semua orang di sini sangat sopan dan saling menghargai. Bahkan saling menyayangi seperti sesama saudara sendiri.

ohoho ternyata yang namanya dekat itu adalah dekat dalam pandangan mata tetapi sangat jauh dicapai oleh kaki. Kami melihat nun jauh di sana lampu-lampu senter mulai menyala jauh di atas bukit depan. cahaya-cahaya itu sepert cahaya menara di ketinggian. Rasanya tak percaya jika cahaya itu ada di darat, bukan diudara. Terlalu tinggi untuk dicapai. Namun tidak ada pilihan, kami merayap terus di remang cahaya senter. Pada saat itu medan semakin parah, jalan mendaki dengan kemiringan serasa 45 derajat yang berdebu campur kerikil membuat kami kesulitan melangkah. Kami sering merangkak dan merayap berpegangan rumput di pinggir jalan. Udara semakin dingin dan suara angin yang menderu-deru memperparah perjalanan kami. Anak saya terus membantu saya berjalan di medan yang sulit dan berbahaya. Ini adalah bukit keempat.Bukit terparah. Saya tinggal berdua dengan anak saya. Ketika ada empat pemuda sedang beristirahat kami berdua bergabung tetapi saya tidak duduk, saya bersandar pada pohon pinus sambil menarik nafas panjang-panjang. Saya tidak membawa makanan sama sekali karena semua dibawa oleh porter. Salah seorang pemuda menawarkan sebutir permen coklat untuk memulihkan tenaga katanya, saya terima dan kami sama-sama puas. Ini yang membuat kami tetap semangat dan tak menyerah dengan rasa capek. Sementara jauh di belakang kebakaran hutan tampak membara di lereng-lereng bukit,

Hanya Berjalan di Kegelapan

Masih satu bukit lagi katanya...oo Tuhan keseimbangan saya sudah tidak stabil lagi, menoleh sedikit bisa tergelincir atau roboh. Jadi saya hanya melangkah dan melangkah tak mau tahu lagi kapan akan sampai ke tempat tujuan. Rombongan pendaki semakin jarang melintas. Jarak kami semakin jauh dan pada saat istirahat sambil membungkuk atau berdiri saya sempatkan melihat ke bawah, yang terlihat adalah kobaran api kebakaran hutan di kejauhan. Kebakaran ini sudah terjadi sejak tadi pagi saat kami masih di kaki bukit.


Perjalan hari pertama ini menjadi perjalanan tersulit karena seharusnya ditempuh dalam waktu dua hari tetapi kami mengambil satu kali jalan. Ini gila, benar-benar perhitungan gila yang membuat kami ambruk sesampai di camp dan membuat porter uring-uringan saking capeknya.
Adik ipar saya sudah tidak sanggup berjalan lagi. ia rebahan di pinggir jalan setapak,kami bergabung, akhirnya ia mengirim pesan SOS pada yang sudah di atas untuk minta bantuan. Begitu banyak pendaki yang sudah di atas turun lagi untuk membantu teman-teman mereka juga.
" Harapan baik!! lima menit lagi sampai di camp!!" Ada yang memberi semangat pada temannya. "Byurrr...." seperti mendapat siraman air di sekujur tubuh rasanya mendengar kalimat itu. "Apa?" Hampir kami tidak percaya karena banyaknya kalimat serupa yang kami dengar sejak siang tadi.
Tidak lama kemudian tampak dua orang turun di kegelapan dengan senter kepala bergerak-gerak mengikuti langkahnya. Benar dia adik saya yang menjemput istrinya. Saya duduk di tepian lalu perlahan kami berjalan lagi. Masih sulit, terjal, licin dan berdebu.

Hai di sebelah kanan atas tampak senter menyoroti jalan kami. Itu anak saya sudah sampai. Itu campnya!!! Alhamdulillah kami mepercepat langkah berbelok ke dataran tinggi di balik tebing. Bahagianya kami, terseyum lega dan tanpa membersihkan badan langsung ambruk di matras dalam tenda. Saat ini jam sebelas malam. Tampak bulan sabit gemuk miring di bawah bukit. Langit kelam Sangat indah dipenuhi jutaan bintang tanpa awan. Itulah malam pertama kami di pos plawangan I di ketinggian sekitar 3000 meter. Seandainya udara tidak menggigit dinginnya saya ingin menikmati malam yang indah dan hening itu sampai puas.
Malam ini kami tidak makan karena porter tidak bisa mencari kayu sebab kemalaman. jadi kami hanya makan biskuit dan mie instan kering serta minum air putih saja. Kami berusaha tidur dalam dingin yang menggigil. Tengah malam anak saya membangunkan saya karena melihat kantung tidurnya bercahaya seperti ada aliran listrik. Saya berpikir kantung ini dilengkapi batere untuk penghangat.Lalu kami tidur beradu punggung untuk menghangatkan. Itulah malam pertama kami di camp Plawangan I.

Kamis, 08 Agustus 2013

Hari Kemenangan

Untuk kedua kali selama saya tinggal di Bali lebaran ini tidak mudik. walau begitu saya ingin membuat suasana lebaran di rumah. Saya buat masakan khas lebaran, lontong kare dan opor serta rendang.
Sehabis solat Ied kami sarapan bertiga dan sorenya teman-teman anak saya datang dan ikut menikmati masakan saya. Hangatnya hari ini walau rasa badan kelewat capek.


Add caption

Syukurlah masakan habis, itu artinya apa yang saya hidangkan dinikmati. Suami mudik sendirian dengan bus.Dan dua hari lagi saya dan si bungsu beserta adik dan dua anaknya berangkat ke Lombok. Trus Minggu rencana treking Rinjani. Insya Allah.
Suami saya menyediakan neurobion, sweater, senter dan kamera. Tentu saja dengan pesan hati-hati dan terus mengkonsumsi vitamin.
Senang tak terkira saya membayangkan perjalanan panjang di padang savana. Saya selalu berdoa agar Tuhan memberi kesehatan dan menyertai semangat saya sampai ke tujuan.

Hari ini adalah hari kemenangan, hari idul fitri. Tetapi saya belum menang sepenuhnya sampai saya bisa berada di Gunung Rinjani. Sulung saya selalu menelepon agar saya berjalan semampu saya saja dan tidak memaksakan diri. Tentu saja, pemaksaan tidak akan bisa mendapatkan kepuasan.



Selasa, 06 Agustus 2013

No One Can Take The Place

Saya terbangun tengah malam dan terus mengenangnya sampai tertidur kembali. Seperti malam yang tidak sendiri walau kenyataannya hanya sendiri. Disibukkan oleh mimpi-mimpi yang tak memberi ruang kecuali satu.
Walau saya tahu ruang itu telah ditinggalkan tetapi tak akan ada yang bisa menempatinya.

Saya sering menghitung hari dan merasakan bahwa waktu tidak pernah memperlambat jalannya. Tak saya sangka saya sudah jauh melewatinya dan saya hampir bisa. Ya hampir saja, tak pernah benar-benar bisa melupakan bagian kecil dari sejarah itu.
sejarah seringkali menjadi catatan mereka yang terlupakan. Sedang pencetak sejarah tak pernah ingat bahwa ia sudah menulis banyak catatan dan membuat orang selalu mengenangnya.



Wisma Maria Rantepao


Jumat, 02 Agustus 2013

Selamat pagi,
Pagi ini cerah oleh hangatnya cahaya matahari. Sedikit kendaraan yang lewat sehingga sunyinya pagi membawa damai pada Sabtu ini. Saya sudah bersiap untuk berangkat kerja satu jam lagi.
Semangat jiwa dan raga terus saya kobarkan untuk sebuah petualangan baru yang menantang untuk orang seusia saya.
Semula keluarga  meragukan  keberanian saya tetapi saya tidak bergeming. Pada akhirnya mereka mendukung dan saya semakin semangat. Saya segera menelepon ibu saya bahwa saya dan tidak bisa mudik tahun ini dan saya ceritakan alasannya. Bersyukur ibu saya mendukung, jadi makin lengkaplah keinginan saya.
Hanya Tuhan yang menentukan nanti apakah saya akan berhasil atau tidak. Sedangkan dari tekad saya saya harus berhasil.
Di belahan gunung yang lain orang biasa menempuh perjalanan berat berpuluh kilometer, peneliti tambang setiap hari berjalan sekurang-kurangnya 17 km, kenapa saya tidak. Waktu kecil saya biasa bermain di atas bukit dan menuruni lembah pegunungan kapur utara hanya untuk melihat goa-goa kapur dan penambang batu. Kenangan masa kecil itu menjadi dorongan kuat saya untuk melihat kembali pemandangan  ketinggian di tempat lain.

Mohon doa restu semuanya agar saya tetap sehat dan kuat dan bisa menikmati karunia alam ini.

Jurang dan Tebing masa kecil sudah tidak ada lagi


Begitu Cepatnya Waktu Berjalan

Bulan baru datang lagi, Agustus. Dan tidak lama lagi pertengahan tahun akan berganti dengan akhir tahun. Oh tajamnya waktu mengiris usia kita sebelum kita sadari apakah kita sudah mendapatkan sesuatu dari waktu ke waktu.
Demi masa (kutipan).
Benar bahwa  kehidupan manusia ada dalam genggaman  waktu. Kita berhasil atau gagal adalah soal waktu. Waktu yang membuat manusia berhadapan dengan kesulitan dan kemudahan. Waktu yang mempertemukan manusia dengan derita dan bahagianya.

Peredaran matahari, bulan dan bintang menjadi isyarat bahwa manusia hidup dalam periode. Setiap periode adalah kesempatan dan tak satupun ada kesempatan yang berulang sama persis. Ketika kita membiarkan periode itu berjalan tanpa membawa apa-apa ya hilanglah satu kesempatan  kita.
Kita tidak perlu menunggu kesempatan karena kesempatan ada di tangan kita. Pepatah Arab mengatakan Waktu itu laksana pedang jika kita tidak menggunakannya dia akan menebas kita.


Senja di Pelabuhan Palopo

Kamis, 01 Agustus 2013

Hari Ulang Tahun Sekolah

Tanggal 30 Juli kami merayakan hari ulang tahun yang ke-33. Saya menjadi guru yang ikut mengawal sekolah ini sampai usia dewasanya. Banyak perubahan yang terjadi seiring dengan perjalanan sejarahnya. Perubahan yang selalu dibanggakan oleh mereka yang baru datang dan hanya sedikit mengikuti perjalanan ini tetapi merasa bahwa itulah karya mereka. Sekolah kami sekarang memang menjadi sekolah besar. Tetapi kesalahan para pengelolanya juga semakin besar. Banyaknya tangan yang berebut mengambil bagian dalam banyaknya proyek menjadikan sekolah kami sebagai lahan mendapatkan rejeki. 
Pada dasarnya semua orang senang dengan uang, tetapi tidak semua kenikmatan bisa kita dapatkan jika cara kita memperoleh uang itu memalukan. Memaksakan diri dan saling menyikut. Maklumlah mereka datang ke sekolah ini dengan uang jadi mereka harus mendapatkan kembali uang-uang itu.

Jika Almamater yang sudah lama menyusui anak-anak kami ini bisa berbicara ia pasti akan meratap. Meratapi anak-anaknya yang lupa bahwa almamater ini dulu berdiri di atas pengabdian yang tinggi dari seorang pemimpin dan belasan anak buahnya, dengan tekad mengiringi anak-anak dalam mencapai keberhasilan.
Masih saya ingat, angkatan pertama sampai kelima sekolah ini pernah meloloskan hampir 80% muridnya masuk ke perguruan tinggi negeri termasuk perguruan tinggi ternama seperti UI, UGM, ITB dll.
Setelah itu semakin menurun dan menurun dan saat ini hanya dapat dihitung dengan jari saja yang lolos di perguruan tingi negeri ternama. Sedang sebagian besar hanya diterima di universitas negeri lokal saja. Itu pun dengan beberapa jalur, antara lain jalur undangan dan PMDK.

Tari Sekar Jagat sebagai Pembuka Acara

Up saya melantur, perayaan ultah kali ini harus meriah karena ini merupakan tahun terakhir masa jabatan dan tahun awal masa pensiun kepala sekolah. Penanggungjawab acara adalah panitia PPDB. Jadi kesibukan kami setelah MOS selesai, berlanjut dengan menyelenggarakan acara ini. Capek tetapi puas dan menyenangkan. Puasnya hasil kerja kami cukup bagus dan menyenangkan semua pihak dan menyenangkannya kami mendapat uang hampir senilai gaji pokok sebulan he he, cukup untuk membeli peralatan  tracking.

Dan acara itu sudah selesai, tinggal acara pembubaran panitia. Berikut ini sebagian dari acara yang sempat saya ambil gambarnya.

Menyiapkan Ruang Ramah Tamah
Lomba Menghias Tumpeng

Malam Pembekalan Calon Putera Puteri Bisma

Pemberian Hadiah untuk Pemenang Lomba


 Ibu-Ibu Panitia
Penabuh dan OSIS

Ramah Tamah Undangan, Guru dan Pegawai